Buka Akses Mineral Kritis ke AS Demi Tarif 0% Komoditas, Ekonom: Indonesia Rugi



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, rencana pemerintah membuka akses mineral kritis kepada Amerika Serikat (AS) sebagai imbalan tarif 0% terhadap sejumlah komoditas, belum memberikan keuntungan yang seimbang bagi Indonesia.

Menurut Huda, kerja sama tersebut justru membuat Indonesia berada di posisi yang kurang menguntungkan karena manfaat yang diperoleh AS dinilai jauh lebih besar. Pasalnya, Indonesia harus menggadaikan mineral kritisnya, sementara imbal balik yang didapat hanya berupa pengecualian tarif untuk ekspor komoditas.

“Selamanya ekspor kita akan bergantung pada komoditas. Meskipun dari sisi neraca dagang masih akan positif, tapi bagi industri manufaktur kita akan negatif,” ujar Huda kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).


Baca Juga: Ekonom Ingatkan Kesepakatan Mineral Kritis Indonesia dengan AS Harus Fair

Ia menjelaskan, sektor industri manufaktur Indonesia, khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki, berpotensi terdampak. Pasalnya, produk-produk tersebut banyak diekspor ke AS, sementara tarif untuk TPT tetap 19%, sehingga kebijakan tersebut berisiko menurunkan permintaan dari pasar Negeri Paman Sam.

“Tekstil Indonesia banyak yang diekspor ke AS dan pasti akan menurunkan permintaan produk TPT dan alas kaki dari Indonesia ke AS. Industri manufaktur kita tetap akan terdampak negatif,” kata Huda.

Meski demikian, Huda menilai neraca perdagangan Indonesia masih berpeluang mencatatkan surplus. Namun, surplus tersebut diperkirakan akan terimbas oleh dampak negatif pada sektor manufaktur.

Di sisi lain, AS justru memperoleh keuntungan strategis melalui akses terhadap mineral kritis Indonesia yang merupakan sumber energi masa depan. Menurut Huda, mineral kritis tersebut dapat dimanfaatkan AS untuk mendorong pengembangan industri strategis mereka dengan dukungan teknologi yang dimiliki.

Baca Juga: Indonesia-AS: Kemitraan Mineral Kritis lewat FDI Dinilai Prospektif

“Jangan sampai kejadian seperti Freeport terulang, yang habis dikeruk oleh AS,” tegasnya.

Huda menambahkan, bukan hanya nikel yang menjadi incaran AS. Pasalnya, pabrikan baterai andalan AS seperti Tesla mulai beralih ke teknologi lithium iron phosphate (LFP) yang tidak membutuhkan nikel, tetapi tetap memerlukan mineral kritis lainnya.

Selain itu, logam tanah jarang dan bauksit juga berpotensi menjadi target. Meskipun Indonesia bukan pemain utama global untuk logam tanah jarang, Huda menilai eksplorasi komoditas tersebut ke depan akan mulai dijalankan. Begitu juga dengan bauksit, yang dinilai memiliki peran penting sebagai bahan baku industri strategis global.

Selanjutnya: Meski Diwarnai Volatilitas, Prospek Reksadana pada 2026 Masih Menjanjikan

Menarik Dibaca: 5 Jenis Pajak yang Bisa Dibayar Online, Praktis untuk Kamu yang Malas Antri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News