Buka-bukaan pindahan



Di tengah ketegangan masyarakat mengikuti perkembangan hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bagaimana para kontestan politik menyikapinya, tiba-tiba khalayak terkejut oleh embusan kabar dari Istana. Senin, 29 April 2019, tersiar berita pemerintah telah memutuskan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke lokasi lain.

Benih wacana itu segera berkembang subur menjadi diskusi hangat di masyarakat, bahkan memantik polemik baru yang seru. Wajar saja, soalnya boyongan ibukota memiliki "magnitude" yang sangat besar untuk ukuran kehidupan bernegara Republik Indonesia.

Sebenarnya pernah tiga kali ibukota Indonesia pindah dari Jakarta. Dari literatur sejarah kita tahu bahwa pada 4 Januari 1946 ibukota pindah ke Yogyakarta. Dua tahun kemudian, pada 19 Desember 1948, ibukota sempat pindah ke Bukittinggi. Lalu, meski cuma beberapa pekan, ibukota juga pernah pindah ke Bireun, Aceh.


Yang berbeda dengan wacana pindahan ibukota saat ini, tiga kali boyongan ibukota tersebut dilakukan secara terpaksa karena Jakarta diduduki oleh pasukan Belanda di masa revolusi kemerdekaan silam.Entah apakah pindahan ibukota kala itu mengundang polemik politik, ekonomi, bahkan hukum atau tidak; yang jelas sekarang, sih, iya.

Kalau kita cermati beragam berita yang ada, sejauh ini pemerintah belum mengungkapkan secara sungguh-sungguh alasan memindahkan ibukota ke luar Jawa. Belum ada publikasi perihal, misalnya, jika tidak pindah apa konsekuensinya, kalau pindah apa pula dampaknya.

Pemerintah perlu membeberkan secara gamblang hasil kajian Bappenas atas rencana pemindahan ibukota ini. Dengan demikian masyarakat tidak perlu berspekulasi secara liar, misalnya mengaitkan pindahan dengan kerawanan politik, sosok gubernur, bahwa ramalan gempa besar mungkin menimpa Jakarta.

Kalau alasannya memang semata bertujuan untuk "memeratakan pembangunan" dari Jawa ke luar Jawa, sampaikan saja segala rencana dan kalkulasi ekonomi secara apa adanya. Dengan begitu masyarakat punya kesempatan sama untuk menangkap peluang yang timbul dari boyongan ini, sehingga secara sukarela mendukung "pemerataan" itu secara swadaya.

Presiden Jokowi tentu paham bahwa kunci sukses memindahkan pusat keramaian adalah dengan menjalin komunikasi terbuka, seperti ketika memindahkan para PKL barang bekas di Solo dulu.♦

Hasbi Maulana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi