KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Tiktok dikabarkan akan meluncurkan bisnis
e-commerce di Amerika Serikat (AS) yang ditujukan untuk menjual produk-produk bikinan China. Menurut laporan
Wall Street Journal dilansir Senin (31/7), platform berbagi video tersebut bakal merilis bisnis barunya itu pada awal Agustus 2023. Perusahaan ini disebut sedang meniru kesuksesan platform Shein dan Temu yang sudah melakukan hal serupa. Mirip dengan program
Sold by Amazon, Tiktok akan menyimpan dan mengirimkan produk-produk, termasuk pakaian, alat elektronik, dan dapur, serta gadget, buatan produsen di China. Tiktok juga akan menangani pemasara, transaksi, logitiks dan layanan purna jual.
Langkah tersebut memperluas strategi
e-commerce TikTok, yang telah berjuang dengan rencana awalnya untuk mengembangkan platform penjual pihak ketiga di AS. Perusahaan ini menunda peluncuran layanan yang lebih luas karena pedagang Amerika enggan bergabung di tengah ketidakpastian politik atas masa depan aplikasi. Selain itu, TikTok juga menghadapi pengawasan yang meningkat di Washington, di mana para pejabat dan anggota parlemen menuduh perusahaan ini sebagai risiko keamanan nasional. Saat ini, TikTok sedang berupaya membangun pasar mirip Amazon, Pusat Perbelanjaan Toko TikTok, yang mengintegrasikan berbagai saluran tempat pengguna dapat melihat dan membeli barang ke dalam satu halaman. Pengguna dapat meninjau barang dagangan yang dijual melalui program TikTok dan langsung oleh pengecer eksternal. Peluncuran TikTok ke dalam model e-commerce baru ditujukan untuk memperluas ekosistem penjualnya untuk mendapatkan lebih banyak uang dari aplikasi video populernya dan melakukan diversifikasi di luar penjualan iklan. Langkah tersebut mengikuti kebangkitan Temu dari PDD Holdings dan peritel mode cepat Shein yang menghasilkan laba US$ 800 juta pada tahun 2022.
Baca Juga: Revisi Permendag No 50/2020 Masih Ditunggu, Teten: Tiga Hal Ini Bisa Lindungi UMKM TikTok menargetkan bisa melipatgandakan
gross merchandise value (GMV) atau jumlah total transaksi barang di platform, menjadi US$ 20 miliar tahun ini secara global. TikTok Shop, unit e-commerce aplikasi, akan tetap memprioritaskan pemberdayaan bisnis lokal (UMKM) untuk membangun kehadiran mereka di platform, kata juru bicara unit tersebut. Sejumlah penjual e-commerce termasuk Temu, AliExpress dan Shopee dari Alibaba Group Holding, yang dimiliki oleh Sea yang berkantor pusat di Singapura, telah meluncurkan program serupa di seluruh dunia sejak tahun lalu, memanfaatkan posisi China sebagai lantai pabrik dunia untuk menawarkan barang dengan harga lebih rendah. “Lanskap e-commerce tahun ini hanyalah bahwa semua platform mengadopsi model baru ini,” kata seorang manajer pedagang TikTok kepada ratusan audiens yang menghadiri roadshow online minggu lalu. Eksekutif di TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance yang berbasis di Beijing, menugaskan tim e-niaganya pada bulan Maret untuk memeriksa model bisnis saingannya yang tumbuh cepat, kata sumber Wall Street Journal. Dua bulan kemudian, TikTok meluncurkan versinya sendiri di Arab Saudi dan Inggris. Langkah tersebut dilakukan setelah banyak pedagang China, yang menggunakan platform penjual pihak ketiganya, berjuang untuk menyediakan layanan pelanggan yang memadai dan meningkatkan keuntungan mereka, kata orang-orang tersebut. TikTok disebut juga berusaha untuk meningkatkan kontrol atas barang dan layanan yang disediakan di platformnya karena keluhan tentang pemalsuan dan penipuan membuatnya pusing. Lewat model layanan penuh, TikTok akan membayar pemasok China hanya setelah menemukan pembeli di AS dan akan mengembalikan barang-barang yang tidak populer untuk menghindari persediaan, tambah sumber tersebut.
Baca Juga: TikTok dan KemenKopUKM Gelar Pertemuan Bahas Project S, Ini Hasilnya Mencermati ekspansi TikTok tersebut, Ekonom INDEF Nailul Huda mengatakan bahwa pemerintah perlu waspada. Menurutnya, harus ada aturan mengenai social commerce agar tidak ada program-program dari platform media sosial yang merugikan Indonesia.
"Regulasi pemerintah harus mengatur mengenai perilaku dari semua pemain perdagangan daring, baik itu ecommerce ataupun social commerce." kata dia, Senin (31/7). Nailul mengatakan, ada beberapa alasan yang mendasari perlu adanya aturan tersebut. Pertama, memberikan perlindungan kepada konsumen terkait keamanan transaksi dan data. Kedua, aturan itu memberikan perlindungan bagi pelaku usaha lokal dan produsen lokal. Ketiga, memberikan persaingan usaha yang sehat antar pemain perdagangan daring agar level playing field-nya sama. "Jadi, harus ada revisi aturan Permendag mengenai PPMSE. Memasukkan unsur social commerce di situ. Adanya aturan tersebut saya rasa bisa menghindarkan dari program-program yang merugikan seperti project S TikTok." pungkasnya.
Editor: Dina Hutauruk