Publik baru-baru ini dikejutkan dengan polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan Bukalapak. Dikabarkan, jumlah karyawan yang terkena PHK ada 100 orang dari total 2.600 orang. Meski relatif kecil, nyatanya kabar tersebut cukup intens menyita perhatian masyarakat. Predikat
unicorn yang disandang Bukalapak, dan isu keuangan yang sedang mendera sejumlah korporasi besar nasional disinyalir sebagai pemicunya. Manajemen Bukalapak menegaskan, bahwa kebijakan tersebut diambil sebagai upaya restrukturisasi untuk menjamin visi bertumbuh sebagai e-commerce unicorn pertama yang meraup keuntungan. Meskipun merugi, manajemen mengungkapkan, bahwa penjualan paruh pertama tahun ini mencapai US$ 5 miliar, setara Rp 71,2 triliun. Laba bruto per bulan tercatat dua kali lipat lebih tinggi dibanding dengan posisi Desember 2018 lalu. Peristiwa ini menjadi diskusi hangat kalangan analis dan ekonom. Apakah ini menjadi indikasi berakhirnya masa keemasan (sunset economy) usaha rintisan e-commerce? Ada empat poin menjawab pertanyaan ini.
Pertama, kerugian yang diderita oleh usaha rintisan bahkan sekaliber unicorn merupakan hal biasa. Sudah menjadi rahasia umum, praktik bakar uang menjadi penyebab utama sebagian besar usaha rintisan masih merugi. Dalam implementasinya, manajemen usaha rintisan memiliki tendensi untuk selalu berfokus mengejar nilai penjualan (gross merchandise value/GMV) setinggi-tingginya. Semakin besar GMV, semakin besar pula valuasi usaha rintisan. Tidak mengherankan, aliran pendanaan yang diterima usaha rintisan akan semakin deras mengikuti besarnya valuasi. Konsekuensi logis dari pendekatan ini ialah lahirnya praktik bakar uang. Tatkala usaha rintisan masih fase awal dan berkembang, biaya akuisisi pelanggan lewat subsidi harga maupun promosi secara masif menjadi hal yang lumrah dijumpai. Bermodalkan dukungan pendanaan melimpah dari investor, perolehan laba pada fase ini tidak lagi jadi nomor satu selama GMV terus meningkat. Sepanjang aktivitas fundraising berjalan lancar, praktik bakar uang masih terus berlangsung. Kedua, implikasi dari poin pertama di atas adalah strategi efisiensi biaya oleh usaha rintisan boleh jadi mengindikasikan ada potensi penurunan aliran pendanaan dalam jangka pendek menengah. Apakah ini merupakan pertanda negatif? Belum tentu. Bisa negatif jika manajemen masih bergantung suntikan dana investor, terutama ketika situasi global masih kurang bersahabat seperti saat ini. Sebagai gambaran, Cento Ventures menyebutkan, total pendanaan yang diraih perusahaan teknologi di Asia Tenggara pada semester I-2019 mencapai US$ 5,99 miliar. Angka ini turun 28% dibanding semester I-2018 yang mencapai US$ 8,31 miliar. Secara historis, indikasi perlambatan pertumbuhan pendanaan sebenarnya sudah mulai terlihat sejak semester II-2018. Perang dagang dan ancaman resesi dunia diduga sebagai latar belakangnya. Sisi lain, kondisi ini juga bisa bermakna netral, bila manajemen usaha rintisan sudah mengambil ancang-ancang skenario alternatif. Misalnya, pendanaan lewat penerbitan saham di pasar modal. Dalam konteks Bukalapak, opsi tersebut relevan dengan ambisi manajemen untuk mulai mencetak laba. Masih terlalu dini Ketiga, strategi efisiensi biaya melalui kebijakan PHK karyawan oleh usaha rintisan sekelas unicorn bukanlah hal tabu, dan tidak selalu berkonotasi negatif. Berkaca pada pengalaman negara lain, sudah ada beberapa usaha rintisan raksasa yang mengambil langkah serupa dengan objektif serupa Bukalapak. Uber merumahkan 400 karyawan setelah merilis laporan keuangan kuartal II-2019 yang mencatat kerugian US$ 5,2 miliar. WeWork dan SpaceX juga dilaporkan melakukan PHK, masing-masing 300 orang dan 600 orang awal tahun ini. Apakah hal ini bisa menjustifikasi bahwa industri digital di Amerika Serikat sedang mengalami masa suram? Tentu tidak. Keempat, pada tataran pragmatis opini tentang dimulainya periode sunset economy di industri e-commerce bisa saja valid. Syaratnya, mayoritas pelaku e-commerce domestik mulai menempuh upaya seperti Bukalapak. Faktanya sinyalemen ini masih belum terlihat. Selain itu, hasil riset iPrice mengenai peta persaingan e-commerce di Indonesia pada kuartal II-2019 menunjukkan, Bukalapak menempati peringkat ketiga e-commerce dengan jumlah pengunjung tertinggi, yakni 89,77 juta. Posisi Bukalapak masih di bawah Tokopedia (140,41 juta) dan Shopee (90,71 juta). Dengan asumsi jumlah pengunjung berbanding lurus dengan nilai dan volume transaksi, maka kejadian di Bukalapak belum bisa merefleksikan kondisi industri e-commerce di Indonesia secara keseluruhan. Bertolak dari keempat argumen tersebut, sejatinya aksi korporasi Bukalapak hanyalah strategi internal perusahaan. Alih-alih hanya memotret data keuangan dan kebijakan tidak populis oleh satu usaha rintisan, dibutuhkan lebih banyak variabel lain sebagai leading indicator sebagai bahan analisis. Misalnya, nilai dan volume transaksi industri e-commerce serta jumlah pendanaan investor asing dan domestik ke pelaku usaha rintisan. Dalih tersebut sekaligus menegaskan diskursus lain yang sedang berkembang. Fenomena PHK karyawan Bukalapak disebut sebagai representasi tekanan berat sektor e-commerce akibat lesunya konsumsi rumah tangga. Benarkah demikian? Ditinjau dari perspektif makro ekonomi, sektor perdagangan elektronik diyakini tetap mampu melejit di tengah stagnasi konsumsi yang tumbuh di kisaran 5%. Bank Indonesia (BI) mencatat, total transaksi e-commerce di Indonesia pada 2018 mencapai Rp 77 triliun naik 151% dibandingkan tahun sebelumnya.
Patut disadari, penurunan daya beli konsumen yang seringkali dikaitkan dengan penutupan toko ritel konvensional terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Sisi lain, sebagian besar pengguna e-commerce justru berasal dari kaum urban kelas menengah berusia produktif. Bonus demografi, leisure economy, dan perluasan jaringan internet hingga pelosok desa akan jadi motor penggerak industri ini dalam jangka panjang. Memang, masih terlalu dini untuk langsung menyimpulkan baik buruknya kinerja industri
e-commerce saat ini. Namun, mencermati situasi global yang terjadi, pelaku usaha rintisan diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai potensi faktor risiko. Praktik bakar uang secara masif seyogianya dievaluasi kembali demi menumbuhkan kompetisi yang sehat dalam industri.♦
Remon Samora Analis Bank Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi