KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak mewanti-wanti kepada PT Pertamina agar berhati-hati sebelum masuk ke Blok Masela karena proyek tersebut berisiko tinggi dan masih banyak ketidakpastian. Belum lama ini, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia mengatakan saat ini pemerintah sedang dalam proses pembuatan konsorsium untuk membeli 35%
participating interest (PI) milik Shell Upstream Overseas Services Limited (Shell) dalam proyek Abadi di Blok Masela. Konsorsium tersebut terdiri dari INA, PT Pertamina, dan beberapa perusahaan lain yang berminat yang kemungkinan besar ada perusahaan asing.
Baca Juga: Konsorsium Didorong Beli Masela, Praktisi LNG Ginanjar: Pertamina Sanggup Sendiri Saat ditanya mengenai apakah ada perusahaan lokal yang berminat, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal mengatakan, perusahaan migas yang besar di Indonesia cuma segelintir saja, tidak banyak. Adapun tidak semua perusahaan berminat investasi di sisi hulu migas. Sejatinya, Aspermigas senang ada pihak nasional yang berperan dalam Blok Masela. Namun, saat ini masih banyak risiko untuk mengelola lapangan gas tersebut. Risiko yang dimaksud Rizal ialah, lapangan gas tersebut belum produksi komersial sehingga masih banyak ketidakpastian seperti risiko berubahnya proyeksi cadangan. Misalnya saja di Saka Kemang, iming-iming cadangan sebesar 4 Triliun Cubic Feet (TCF) akhirnya benar-benar tidak terwujud. Alhasil, keekonomian yang diharapkan tidak sesuai ekspektasi. “Blok Masela ini bukanlah barang mudah, nilai pengembangannya untuk mencapai produksi saja investasinya kurang lebih bisa mencapai US$ 20 miliar,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (16/9). Saat ini
participating interest 35% milik Shell ini masih dipegang Shell dan PI tersebut tentu tidak gratis karena rezim yang digunakan saat ini rezim kontrak bukan rezim izin. Selain harus membeli PI dari Shell dengan harga yang mahal dan investasi pengembangan yang besar sekali, dibutuhkan 5 tahun setelah POD untuk menghasilkan uang dari Blok Masela. “Jadi ini bukan barang mudah, ujung-ujungnya bertumpu pada pinjaman,” terangnya. Salah satu partner Pertamina di dalam konsorsium yang akan mencaplok 35% PI Shell di Masela ialah INA,
sovereign wealth fund milik Indonesia. Rizal menjelaskan di belakang INA adalah investor asing.
Baca Juga: Menilik Strategi Pertamina Menjaga Biaya Operasional Kilang Lebih Efisien Rizal mengatakan, tidak semua investor suka berinvestasi di hulu. Adapun INA sebagai penengah dan akan menawarkan pinjaman. “Uangnya dari mana? investor asing juga,” ujarnya. Worst casenya, sudah memakai uang pinjaman untuk pengembangan ternyata risiko yang dikhawatirkan benar kejadian sehingga terjadi cost overrun yang membuat investasinya membengkak (misalnya saja dari US$ 20 miliar menjadi US$ 25 miliar). “Makanya saya sarankan untuk Pertamina kalau mau ambil jangan eksposkan diri karena ini masih ada risikonya. Pertamina harus melihat sisi risiko itu seberapa besar yang bisa diterima, kalau ada apa-apa wah ini kan BUMN uang rakyat,” ujarnya. Pengamat Energi, Salis S Aprilian menilai
core competency Pertamina di bisnis hulu-hilir sektor migas, membuat perusahaan migas pelat merah itu harus menjadi bagian dari konsorsium ini, berapapun nilai sahamnya. “Sebetulnya yang perlu dicari dulu adalah pembeli gas Masela. Itu kunci pengembangan lapangan gas, selain Cadangan dan infrastrukturnya,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Baca Juga: Kepastian Pertamina Masuk Masela Akan Diumumkan Beberapa Bulan ke Depan Nah, untuk mendapatkan kepastian pembeli, lanjut Salis, sebaiknya kalau pemerintah sedang membuat konsorsium, maka setidaknya ada satu anggota konsorsium yang berlatar-belakang gas buyer (pembeli gas), bisa perusahaan nasional maupun international. Dia mengatakan karena potensi cadangannya juga besar, maka secara ekonomis mestinya cukup menguntungkan jika dikembangkan. Dengan demikian, apabila ada perusahaan migas swasta besar di Indonesia yang akan bergabung, tentunya akan saling menguntungkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .