JAKARTA. Industri rokok akan menghadapi tantangan baru di tengah rencana pemerintah untuk menaikkan tarif cukai untuk mendorong penerimaan negara dari cukai. Kendati demikian, sejumlah analis melihat prospek PT Gudang Garam Tbk (GGRM) masih cukup positif. Pasalnya, perseroan dinilai masih mampu mengantisipasi kenaikan beban pajak dengan menaikkan harg jual.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengajukan kenaikan penerimaan cukai rokok 7% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 menjadi Rp 148,85 triliun. Patricia Gabriella, Analis Buana Capital dalam risetnya pada 18 September menilai, kenaikan cukai rokok tahun depan tidak bukan merupakan tantangan berat bagi GGRM. Pasalnya secara historikal, perseroan selalu berhasil mengatasi kenaikan beban dengan menaikkan harga jual kepada konsumen. Dia memperkirakan tarif cukai akan naik 15% untuk mencapai target kenaikan penerimaan cukai tahun 2016. Namun, Patricia melihat GGRM masih memiliki ruang besar untuk menaikkan harga jual. Sejak awal tahun saja, harga produk GGRM jenis SKT dan SKM masing-masing telah naik 8% dan 5%-8% untuk mengantisipasi kenaikan biaya pajak. "Kami lihat, kenaikan harga ini cukup untuk mengimbangi peningkatan biaya pajak," kata Patricia. Senada, David Nathanel, Analis First Asia Capital mengatakan kenaikan tarif cukai rokok bukan merupakan tantangan besar buat GGRM. Pasalnya, perseroan bisa mengantisipasi peningkatan beban pajak lewat kenaikan harga jual. Menurut David, kenaikan harga jual tidak akan membuat volume penjualan emiten rokok lantas turun. Sebab konsumen rokok berbeda dengan konsumen barang-barang konsumsi lainnya. "Kalau sudah mengkonsumsi rokok berapapun harga tetap akan dikonsumsi karena sudah ketergantungan," jelas David pada KONTAN, Kamis (8/10). Meskipun tarif cukai rokok dinaikkan sampai 20% tahun depan, David melihat dampaknya tidak akan terlalu signifikan pada kinerja GGRM. Dengan menaikkan harga, pendapatan perseroan diperkirakan masih bisa tumbuh. Hanya saja, akan sedikit tertekan dari sisi laba bersih. Menurutnya, prospek emiten rokok hanya akan terseok jika pemerintah melakukan pembatasan volume produksi. Sementara Patricia menilai pembatasan volume rokok yang dilakukan pemerintah lewat
road map produksi industri hasil tembakau 2015–2020 dikisaran 5%-7,4% hanya berdampak kecil terhadap kinerja GGRM. "Industri rokok akan mengatur volume produksi sesuai dengan permintaan," jelasnya. Patricia memperkirakan volume GGRM tahun 2015-2016 turun 1,7% yoy kalah dari kompetitornya yang diprediksi masih tumbuh 7%. Maklum, pertumbuhan volume rokok terbesar di 2015-2010 diperkirakan datang dari SKM Mild yakni 14%, SKM reguler dan SPM tumbuh 5%, sedangkan SKT diperkirakan flat. Sedangkan GGRM hanya merajai SKM reguler dan SKM Mild masih dipimpin oleh HMSP. Kendati demikian, Patricia memperkirakan pendapatan GGRM masih akan tumbuh tahun ini dari Rp 65,18 triliun menjadi Rp 70,86 triliun karena kenaikan harga jual serta didukung penurunan harga cengkeh. Bulan Agustus saja, harga cengkeh hanya sekitar Rp 100.000 - Rp 110.000 per kilogram (Kg). Sementara tahun lalu, harganya mencapai Rp 140.000 per Kg. Hanya saja, tingginya biaya biaya operasioanal yang diperkirakan naik 14% menyesuaikan dengan kenaikan biaya transportasi dan pemasaran akan menekan laba bersih perseroan tahun ini. Patricia memperkirakan laba bersih GGRM akan turun dari Rp 5,36 triliun pada 2014 menjadi Rp 5,26 triliun di tahun ini. Menurut Patricia, tantangan terbesar GGRM ke depan adalah perlambatan daya beli masyarakat yang bisa mengerus kinerja keuangan perseroan. Maula Andini Putri, Analis Ciptadana Securitas, menilai prospek pasar rokok masih akan lesu di tengah kondisi yang saat ini. Apalagi, perkiraannnya PDB tahun ini hanya akan mencapai sekitar 4,8% akan merusak optimisme konsumsi rokok.
“Sementara ruang semakin terbatas untuk meningkatkan harga jual karena meningkatnya perang harga di pasar,” ujar Maulana. Maula dan David masih merekomendasikan
buy untuk saham GGRM dengan target harga masing-masing Rp 55.000 dan Rp 50.000 per saham. Sementara Patricia juga mempertahankan rekomendasi
buy, namun dia menurunkan target harga GGRM menjadi Rp 50.000 karena tantangan penurunan daya beli. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto