KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan harga minyak belum terbendung hingga Selasa (8/10) pagi. Setelah kemarin naik lebih dari 3%, harga minyak melanjutkan kenaikan di awal perdagangan hari ini. Harga minyak WTI menguat dalam enam hari perdagangan beruntun hingga Selasa (8/10). Sedangkan harga minyak Brent menguat tujuh hari berturut-turut hingga Senin (7/10). Kemarin, harga minyak Brent melampaui US$ 80 per barel untuk pertama kalinya sejak Agustus. Meningkatnya risiko perang Timur Tengah di seluruh kawasan mengguncang investor keluar dari posisi bearish yang tercatat bulan lalu.
Selasa (8/10) pukul 6.36 WIB, harga minyak WTI kontrak November 2024 di NYMEX menguat 0,57% ke US$ 77,58 per barel. Kemarin, harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) ini melonjak 3,71% dari akhir pekan lalu di US$ 74,38 per barel. Minyak mentah Brent berjangka naik US$ 2,88, atau 3,7%, menjadi US$ 80,93 per barel pada perdagangan kemarin. Minggu lalu, Brent naik lebih dari 8% dan WTI naik lebih dari 9% secara mingguan, tertinggi dalam lebih dari setahun. Serangan rudal Iran pada 1 Oktober terhadap Israel menimbulkan kekhawatiran bahwa tanggapan dari Israel akan ditujukan pada infrastruktur minyak Iran. "Jika itu terjadi, harga minyak bisa naik US$ 3 hingga US$ 5 per barel," kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates seperti dikutip
Reuters. Baca Juga: Tergantung The Fed, Mata Uang Komoditas bisa Berbalik Arah Roket yang ditembakkan oleh Hizbullah yang didukung Iran menghantam kota terbesar ketiga Israel, Haifa, pada Senin pagi. Sementara itu, Israel tampak siap untuk memperluas serangan darat ke Lebanon selatan pada peringatan pertama perang Gaza yang telah menyebarkan konflik di Timur Tengah. "Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa konflik tersebut dapat terus meningkat, tidak hanya membahayakan produksi Iran sebesar 3,4 juta barel minyak per hari tetapi juga menciptakan gangguan lebih lanjut pada pasokan regional," tulis analis di Tudor, Pickering, Holt & Co pada Senin kemarin. "Kenaikan harga minyak di awal pekan kemungkinan didorong oleh
fund manager yang menutup taruhan
bearish pada meningkatnya risiko gangguan pada pasokan minyak Timur Tengah," kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Hedge fund dan
fund manager telah mengumpulkan rekor taruhan
bearish pada minyak berjangka hingga pertengahan September karena prospek permintaan yang menurun, terutama di Tiongkok, importir minyak mentah terbesar. "Ada banyak
short-covering di pasar yang dimulai minggu lalu dan masih berlanjut," kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York. "Ini adalah pasar yang membeli sekarang, bertanya kemudian," katanya.
Baca Juga: Indeks Wall Street Merosot, Timur Tengah Menjadi Fokus Namun, Kilduff memperingatkan bahwa reli yang didorong oleh rasa takut membuat harga minyak terbuka untuk penurunan yang cukup besar jika Israel memutuskan untuk tidak menyerang infrastruktur minyak Iran. Ini akan menurunkan harga minyak antara US$ 5 dan US$ 7 per barel, Kilduff dan Lipow memperkirakan secara terpisah. "Sampai seminggu yang lalu, saya pikir kita akan menguji harga minyak di bawah US$ 60," kata Brent Belote, pendiri
hedge fund yang berfokus pada komoditas Cayler Capital.
Permintaan tetap lemah, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memiliki cukup kapasitas pasokan cadangan untuk mengimbangi gangguan apa pun terhadap ekspor Iran, Belote menambahkan. OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, yang dikenal secara kolektif sebagai OPEC+, akan mulai meningkatkan produksi mulai Desember setelah memangkas produksi dalam beberapa tahun terakhir untuk mendukung harga karena permintaan global yang lemah. Namun, harga minyak mentah Brent kemungkinan harus mendekati US$ 90 atau lebih agar OPEC+ dapat meningkatkan pasokan, kata Lipow. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati