Lautan manusia menyemut di sejumlah titik strategis di Ibukota, Rabu siang. (1/5) Mereka adalah kaum buruh yang tengah melakukan aksi turun ke jalan untuk merayakan hari buruh atawa may day yang jatuh pada 1 Mei. Kompak, mereka menyuarakan tuntutan-tuntutannya ke penguasa negeri ini. Tak kurang dari 150.000 buruh datang dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang ikut turun ke jalan utama yang ada di Jakarta. Aksi serupa juga dilakukan serempak di seluruh pelosok negeri. Mereka bersama-sama menyuarakan dan memperjuangkan perbaikan nasib mereka, sekaligus masyarakat pada umumnya. Selama hak-hak buruh masih terabaikan, kehidupan mereka masih akan terus di bawah standar, meski telah bekerja bertahun tahun.
Awal tahun 2013, sebagian buruh suka cita lantaran mereka naik lumayan besar. Di Kota Depok misalnya, upah minimum provinsi (UMP) 2013 ditetapkan Rp 2,04 juta atau naik 43,3% dari UMP 2012 sebesar Rp 1,42 juta sebulan. Namun, setelah empat bulan berlalu, keberhasilan memperjuangkan kenaikan upah meleset dari harapan. Buruh hanya bisa mengelus dad, menggerutu lantaran fakta di lapangan jauh berbeda. Banyak juragan mereka yang enggan membayar upah sesuai UMP dengan cara mengajukan penundaan. Tak pelak buruh belum bisa naik kelas seperti harapan. Adalah Saputra (24), karyawan sebuah perusahaan elektronik di kawasan industri Cimanggis, Depok Jawa Barat mengutarakan keluh–kesahnya. "Gaji cuma lewat di ATM saja. Habis buat sewa kontrakan, makan dan ongkos transportasi," ucap pria lajang ini. Dengan penghasilan Rp 2 juta lebih, setelah ditambah lembur, bujangan ini masih mampu memenuhi kebutuhannya. Hanya, penghasilan itu tak cukup untuk menabung, apalagi mencicil rumah. Bagi butuh yang sudah menjadi kepala keluarga, jelas tak cukup. Mereka akan menghadapi persoalan kompleks dengan besaran upah itu. Saputra menuturkan, kondisi keuangannya makin gawat ketika terkena musibah seperti sakit dan harus dirawat di rumah sakit. "Meski punya penghasilan, kami sebenarnya miskin. Banyak utang karena harus pinjam sana-sini untuk biaya dadakan saat sakit," tuturnya.Ia tak berani membayangkan bagaimana nanti kalau harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Jelas, beban mereka akan bertambah. Makanya, mereka menolak kenaikan BBM karena akan memperburuk kondisi buruh. "Kami sudah biasa jadi korban," katanya. Presidium Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, berapapun kenaikan harga BBM akan memberatkan buruh. "Setiap harga BBM mengalami kenaikan Rp 1.000 akan menurunkan daya beli buruh hingga 15%," ungkapnya. Masalah BBM ini bukan terletak pada kebijakannya, melainkan efek domino yang memicu inflasi, sehingga menggerus daya beli buruh. Said memaparkan, penurunan daya beli disumbang oleh kenaikan sewa rumah, ongkos transportasi, dan harga makanan sebagai konsekuensi kenaikan harga barang dan jasa.
Maklum, porsi terbesar dari upah buruh tersedot kebutuhan konsumsi. Makanya, KSPI mendesak pemerintah tidak menaikkan harga BBM tapi melakukan penghematan BBM bersubsidi untuk perusahaan listrik negara yang mencapai Rp 90 triliun setahun.Gunawan, buruh asal Tangerang yang datang bersama rombongan 100 bus dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mengaku kenaikan BBM akan memukul kehidupan kaum pekerja. Makanya, isu besar may day tahun ini adalah menolak kenaikan harga BBM, menuntut upah layak dan jaminan kesehatan. "Kami minta pemerintah serius mengawasi perusahaan yang masih memakai tenaga outsourcing," kata dia.Tak sekadar mendapatkan kado hari libur 1 Mei atau makan nasai kotak bersama Presiden Susilo Bambang Yudyono, tapi mereka membutuhkan kebijakan yang mampu mengangkat martabat sehingga tidak dijadikan mesin produksi. Makanya, buruh juga menuntut kepastian jaminan hari tua, saat tak sanggup lagi memutar mesin. Negara harus turun tangan memberikan jaminan sosial. Tak hanya untuk mereka, tapi manfaat jaminan sosial bagi rakyat Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan