Bukannya Beri Untung, Kinerja Reksadana Saham Ini Malah Melorot, Bahkan Hingga 98%



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cek portofolio investasi Anda di reksadana. Pasalnya, banyak reksadana yang gagal memberikan keuntungan untuk para investor. Bahkan, ada reksadana saham yang mengalami penurunan kinerja hingga 98%.

Penurunan kinerja reksadana saham karena pelemahan harga saham di Bursa Efek Indonesia. Melansir RTI, Senin (18/11), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,38% ke level 7.134,28, dan menandai penurunan 1,90% secara year to date (YtD).

Sementara berdasarkan data Infovesta Utama, kinerja reksadana saham yang tercermin lewat Infovesta 90 Equity Fund Index mencatatkan penurunan hingga 7,11% secara YtD per 15 Oktober 2024.


Di tengah penurunan tersebut, ada sejumlah produk reksadana bahkan mencatatkan penurunan hingga 98,57% dalam setahun yakni Millenium MVM Equity Sektoral. Lalu satu reksadana saham membuntuti dengan minus 87,68% yakni EMCO Pesona.

Baca Juga: Menaker Pastikan UMP 2025 Naik, Cek Besaran UMP 2024 Di 38 Provinsi Di Indonesia

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mensinyalir, kinerja anjlok tersebut disebabkan oleh turunnya kinerja underlying konstituen yang tercermin dari penurunan nilai pasar wajar (NPW). 

"Tidak terdapat indikasi adanya redemption atau kenaikan unit penyertaan. Jadi seharusnya balik ke faktor penurunan NPW," kata Arjun kepada Kontan.co.id, Senin (18/11).

Arjun mengatakan untuk Millenium MVM Equity Sektoral, underlying sahamnya adalah infrastruktur, utilitas, transportasi. Kemudian keuangan, perdagangan, service & investasi, pertambangan dan pertanian. Namun data ini terakhir update pada Januari 2021, setalah itu pihak MI dari produk tersebut tidak memberikan perkembangan lanjutan.

Begitupun dengan Emco Pesona. Data terakhir yang tercatat bahkan pada November 2019 dialokasikan di PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY), PT Ayana Land International Tbk yang beralih nama menjadi PT Andalan Perkasa Abadi Tbk (NASA), Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK), PT Intiland Development Tbk (DILD) dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF). 

Oleh sebab itu Arjun menduga memang produknya sudah tidak aktif atau tidak berlaku. Sehingga terjadi penurunan nilai yang begitu besar. 

Di sisi lain, Pinnacle Dana Prima, salah satu produk reksadana dadi Pinnacle mencatat penurunan kinerja cukup signifikan sebesar 36,94% dalam setahun. Hal ini menjadikan produk tersebut menempati posisi ke-11 sebagai reksadana dengan kinerja buruk. 

CEO Pinnacle Investment, Guntur Putra mengatakan bahwa produk itu merupakan produk warisan atau legacy product yang kepemilikan unit sebelumnya dimiliki oleh Jiwasraya. Sehingga sudah tidak ditawarkan lagi ke nasabah institusi maupun retail.

Tonton: Kejagung Amankan Pendiri Sriwijaya Air di Bandara Soetta Terkait Kasus Korupsi PT Timah| KONTAN News

Selain itu, kalau dari sisi pasar, ia melihat banyak underlying yang mengalami koreksi di tahun ini. Oleh sebab itu secara umum terjadi penurunan kinerja mayoritas sejumlah reksadana.

Indeks saham likuid berkapitalisasi pasar besar LQ45 sudah turun 11,4%. Banyak juga saham-saham di beberapa sektor seperti konsumer, infrastruktur yang terkoreksi cukup dalam. Dia mencontohkan saham PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) juga secara YtD sudah turun masing-masing 45% dan 64%.

"Selain itu efek dari Full Call Auction (FCA) juga tentunya menambah koreksi di beberapa reksadana yang underlying sahamnya masuk dalam daftar FCA," ujar Guntur kepada Kontan.co.id, Senin (18/11). 

Di kesempatan berbeda, Direktur PT Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan, fenomena ini membuktikan manajer investasi yang belum mampu membereskan masalah dengan optimal.

Dia mengkhawatirkan dana dari produk yang mengecewakan tersebut akan semakin ciut, bahkan habis karena potongan biaya manajer investasi, biaya bank kustodian, serta biaya auditor.

"Kalau dibiarkan terlalu lama, korbannya pasti nasabah," sebut Parto kepada Kontan.co.id. 

Parto pun menyarankan untuk dua reksadana yang paling parah, agar menetapkan notasi khusus reksadana bermasalah pada efek saham. Apapun langkah yang diambil, perlu dipahami sebagai wujud perlindungan industri pasar modal. 

Baca Juga: Jemaah Haji 1446 H Berangkat 2 Mei 2025, Berapa Biaya Haji?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto