JAKARTA. DPR batal mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan pada akhir 2013 lalu. Terhambatnya pembahasan RUU Pertanahan akibat pemerintah belum menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke Komisi II DPR RI. Padahal beleid ini diharapkan sanggup untuk segera menyelesaikan banyaknya kasus konflik lahan atau pertanahan. Penyelesaian konflik pertanahan juga akan lebih cepat dengan adanya poin pembentukan lembaga peradilan pertanahan. Sesuai, catatan BPN, sampai akhir tahun 2013 masih terdapat. 1.927 kasus pertanahan yang belum terselesaikan. Total kasus yang ditangani BPN sepanjang tahun 2013 mencapai 4.564 kasus pertanahan, sehingga yang telah diselesaikan BPN mencapai 2.771 kasus pertanahan.
Anggota Komisi II DPR RI, Gamari Suttrisno, mengatakan, penyelesaian RUU Pertanahan masih terkendala belum diserahkannya Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah. "Sampai akhir tahun 2013 pemerintah belum menyerahkan DIM RUU Pertanahan, sehingga pembahasan menjadi terhambat," ujarnya kepada Kontan, Kamis (2/1). Menurut Gamari, pihak komisi II DPR RI telah mengirimkan DIM RUU tentang Pertanahan kepada pemerintah sehingga tinggal menunggu DIM dari pemerintah. Komisi II DPR juga telah menerima masukan dari pakar atau ahli pertanahan dan pemangku kepentingan di sektor pertanahan terkait RUU Pertanahan. Gamari mengatakan, pada masa sidang selanjutnya, Komisi II DPR akan memprioritaskan pembahasan RUU Pertanahan. "Jika dalam masa reses DIM sudah diserahkan, maka pembahasan akan seger dilanjutkan pada masa sidang berikutnya yang mulai pertengahan Januari 2014," ujarnya. Gamari menargetkan, sebelum pelaksanaan Pemilu 2014 pada 9 April 2014, beleid RUU Pertanahan sudah disahkan. Dalam draft RUU Pertanahan sendiri terdapat poin pembentukan Pengadilan Pertanahan khusus untuk mengurus permasalah disektor pertanahan. Sengketa mengenai status kepemilikan tanah dan kebenaran materil data fisik dan yuridis, diselesaikan melalui badan peradilan. Kemudian, diamanatkan pembentukan Pengadilan Pertanahan pada setiap pengadilan negeri(PN) yang berada di setiap ibukota provinsi. RUU tentang Pertanahan juga mengatur pembatasan pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) dengan luas maksimal untuk kawasan perumahan sebesar 200 hektar (ha). Pembatasan pemberian HGB untuk sektor perumahan bertujuan untuk menerapkan prinsip keadilan ditengah terbatasnya Sumber Daya Alam (SDA) nasional. Dalam Pasal 29 draft RUU Pertanahan disebutkan, HGB diberikan untuk mendirikan bangunan perkantoran, tempat tinggal atau permukiman, industri, perhotelan, jalan, dan bangunan lainnya. Kemudian pada Pasal 31 ditekankan, bahwa HGB dapat diberikan dengan luas paling banyak untuk kawasan perumahan seluas 200 ha. Pemerintah telah serahkan DIM RUU Selain itu Pasal tersebut juga mengatur pembatasan untuk kawasan perhotelan atau resort seluas 100 ha dan kawasan industri seluas 200 ha. Kepala Biro Hukum dan Humas BPN, Kurnia Toha, mengatakan, pemerintah telah menyerahkan DIM RUU Pertanahan kepada DPR. "Sudah dikonfirmasi ke Kemkumham sebagai ketua delegasi pemerintah dalam membahas RUU Pertanahan, akhir Desember lalu (masa reses DPR) DIM sudah diserahkan," katanya. Menurut Kurnia, dalam DIM yang diserahkan pemerintah, terdapat usulan memasukan poin pengaturan pemanfaatan ruang dibawah dan diatas tanah. Selama ini dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak mengatur pemanfaatan ruang dibawah tanah. Kurnia mengatakan, pemerintah juga memasukan poin tentang pengelolaan sektor pertanahan oleh Kementerian Pertanahan sebagai lembaga perubahan BPN.
Ia menilai, dengan bentuk sebagai Kementerian akan lebih mudah dalam mengelola dan mengatur sektor pertanahan. "Pemerintah juga mendorong pembentukan lembaga peradilan khusus pertanahan, untuk mempercepat penanganan kasus pertanahan," ujarnya. Pemerintah juga mendorong agar pengesahan RUU Pertanahan menjadi UU bisa dilaksanakan sebelum pelaksanaan Pemilu 2014. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan