KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perum Bulog diwacanakan akan menjadi Badan Otonom yang bertanggung jawab langsung pada Presiden. Dengan begitu, Bulog tak lagi berada di bawah naungan Kementerian BUMN. Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai tranformasi ini akan berdampak pada beberapa hal utamanya dengan fungsi Bulog dalam menjadi operator pengelolaan komoditas pangan. "Kalau Bulog tidak lagi berbentuk BUMN implikasinya tidak lagi bisa mendapatkan penugasan untuk menjadi operator pengelolaan komoditas pangan yang jadi obyek cadangan pangan pemerintah," kata Khudori kepada Kontan.co.id, Rabu (6/11).
Baca Juga: Bulog Bakal di Bawah Presiden Langsung, Bukan BUMN Khudori mengatakan saat Bulog menjadi badan otonom, ia tak lagi bisa mendapatkan penugasan baik dalam pengadaan beras dari dalam maupun luar (impor), pengelolaan, hingga penyaluran untuk kebutuhan tertentu seperti bantuan pangan hingga operasi pasar. Menurut Khudori, memperkuat Bulog bisa dilakukan tanpa harus mengubah bentuk kelembagaannya yang berwujud Perum saat ini. Yang penting, kata dia adalah penguatan dari sisi regulasi. Pertama, mengintegrasikan kebijakan, terutama beras, yang terbuka di hilir menjadi terintegrasi lagi menjadi hulu-tengah-hilir. Masalahnya, kata dia, kebijakan yang saat ini kurang mendukung penguatan peran Bulog karena beras miskin (raskin) diubah menjadi bantuan pangan nontunai (BNPT). Dampaknya, Bulog tak lagi memiliki saluran atau outlet pasti beras di hilir. Padahal menurutnya, outlet pasti penyaluran di hilir adalah bagian untuk memastikan beras yang diserap Bulog itu bisa berputar cepat sehingga prinsip first in first out (pertama masuk, pertama keluar) bisa dilakukan dengan baik. "Beras itu tidak tahan lama. Kalau melebihi umur simpan potensial turun mutu atau bahkan rusak," jelasnya.
Baca Juga: Cadangan Beras Bulog Ditargetkan 2 Juta Ton Khudori berpendapat mengintegrasikan kembali kebijakan perbesaran bisa dilakukan dengan mewajibkan penerima BPNT berasnya dipasok oleh Bulog. Selanjutnya, pemerintah bisa menentukan berapa besar kebutuhan penyalurannya. "Idealnya antara 1,5 juta ton-2,0 juta ton. Sisanya, Bulog bisa menyalurkan lewat berbagai keperluan, terutama operasi pasar SPHP," jelas Khudori. Kedua, mengubah sistem penganggaran saat ini yang bersifat pascabayar. Sistem yang berlaku sejak 2019 menurutnya menjadi kendala terkendala untuk lebih lincah dalam melakukan pengadaan. Masalahnya, Bulog bekerja menggunakan kredit perbankan berbunga komersial. Dari pengadaan hingga penyaluran, bahkan hingga pembayaran klaim bisa memakan lama. Waktu yang panjang ini akan semakin menambah beban besar utang yang ditanggung Bulog. Dampaknya harga pokok penjualan beras Bulog akan semakin mahal adn kurang kompetitif di pasar.
Baca Juga: Rencana Peralihan Bulog Di Bawah Kementan, Begini Tanggapan Manajemen Yang ideal, menurutnya, keperluan cadangan beras pemerintah (CBP), bisa dibiayai langsung oleh APBN dengan cara penyertaan modal negara (PNM) sesuai dengan kebutuhan yang ditugaskan pada Bulog. "Misalnya Kebutuhannya sekitar Rp25-30 triliun, ini sekali saja. Setelah itu, tidak perlu ada lagi PMN serupa. Jika ini dilakukan, beban bunga bank otomatis tidak ada dan harga pokok beras Bulog akan turun drastis dan membuatnya kompetitif di pasar," jelas Khudori. Di luar itu, pemerintah bisa memperbesar pangsa pasar beras Bulog menjadi 20%. Sehingga beras pemerintah ini tidak disimpan di gudang, tapi selalu ada di pasar sebagai bagian untuk melakukan stabilisasi.
Kemudian, saat harga beras naik, masyarakat punya alternatif pilihan beras BULOG yang harganya terjangkau. Catatannya, terkait dengan kepastian mutu agar bersaing dengan kompetitor swasta. "Kalau ini bisa dilakukan, pemerintah tak lagi bertindak sebagai pemadam kebakaran seperti saat ini: melakukan operasi pasar saat harga tinggi," jelas Khudori. "Penguatan itu bisa dilakukan pemerintah tanpa harus mengubah kelembagaan Bulog," tambahnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi