KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK) akan memperlebar pasar ekspornya. Tahun depan, perusahaan pengolahan kakao ini akan membuka pasar ekspor ke Asia. Direktur Utama PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk Anne Patricia Sutanto optimis industri kakao dunia masih bakal manis. Pasalnya, minat negara-negara Eropa terhadap produk coklat masih tinggi. Tak hanya itu, terdapat sinyal positif dari pasar Asia. "Setiap periode ada peningkatan ekspor produk turunan kakao kami, yang mayoritas masih Eropa dan Amerika. Namun tahun depan kami mungkin coba perbanyak ke negara Asia," kata Anne kepada Kontan.co.id, Kamis (28/6).
Menurutnya, negara China dan Jepang menjadi dua negara di kawasan Asia yang memberikan sinyal manis terutama untuk produk
cocoa powder yang tengah digegaskan emiten melalui pengembangan pabrik anak usaha mereka, Golden Harvest Cocoa Indonesia (GHCI). Asal tahu, lini penjualan ekspor menjadi salah satu andalan BTEK untuk menopang kinerja kuartal-I 2018. Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini total pendapatan BTEK setara Rp 208,22 miliar, penjualan ekspor yang termasuk produk cocoa dan kayu log Rp 207,89 miliar. Sisanya dari penjualan produk dalam negeri senilai Rp 325,25 juta. Pendapatan kuartal-I 2018 ini naik 119,22% dari periode sama tahun lalu. Anne menyatakan kenaikan ini mayoritas disumbang dari lini ekspor kakaonya. Sinyal optimisme dunia juga berdasarkan perhitungan tingkat konsumsi produk turunan kakao di Eropa yang tinggi. Dalam catatan Anne, konsumsi kakao Eropa mencapai 10 kilogram (kg)-12 kg per kapita. Angka ini berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi Indonesia baru mencapai 0,1 kg per kapita. Karena itu, BTEK masih memfokuskan 99% produksi mereka untuk keperluan ekspor, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mengutip informasi dari situs International Cocoa Organization, harga biji kakao untuk kontrak berjangka New York per Rabu (27/6) dihargai US$ 2.397 per metrik ton. Angka tersebut berfluktuasi cukup tajam dari rata-rata harga bulan Januari yang dicatat sebesar US$ 1.951 per metrin ton.
Asal tahu, selama ini industri kakao kerap terkendala bea impor yang besar, yakni 5% bea masuk, 10% PPN dan 2,5% PPh. Dengan demikian, total bea yang harus dibayar pengusaha adalah 17,5%. Namun menurut Anne, pihaknya tidak bermasalah dengan tarif tersebut karena berada dalam kawasan Berikat. "Kami tidak ada masalah karena ada di kawasan Berikat, pajak 10% PPN itu kalau jual lokal, tapi untuk kita itu tidak masalah," jelasnya. Di sisi lain, produk kakao olahan yang masuk dari negara tetangga bebas bea masuk sejak berlakunya perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Otomatis, mayoritas biji kakao BTEK atau setara 80% berasal dari ekspor negara Ekuador, Nikaragua dan Ghana. Sedangkan sisanya dari lokal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi