BUMN konstruksi mengurangi order proyek swasta



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Maraknya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah turut mengubah komposisi perolehan kontrak baru emiten konstruksi pelat merah. Kini, porsi kontrak dari proyek swasta cenderung mengecil.

PT Adhi Karya Tbk (ADHI) misalnya. Hingga September 2017, ADHI memperoleh kontrak baru Rp 30 triliun. Dari nilai itu, porsi proyek pemerintah mencapai 76,9% dan proyek BUMN sebesar 11,4%.

Sementara itu, porsi dari proyek swasta hanya 11,7%. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, total kontrak baru ADHI dari swasta mencapai 25%. Sedangkan perolehan kontrak dari pemerintah dan BUMN masing-masing sebesar 33,8% dan 41,3%.


Porsi kontrak swasta yang diperoleh PT PP Tbk (PTPP) juga mengecil. Hingga September 2017, total kontrak PTPP mencapai Rp 31,9 triliun. Hanya 28% yang berasal dari proyek swasta. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, kontrak dari swasta mencapai lebih dari 40%. Saat ini, porsi kontrak PTPP dari BUMN mencapai 61% dan dari pemerintah sebesar 11%.

Riska Afriani, Kepala Riset OSO Sekuritas, mengatakan, perubahan porsi tersebut justru menjadi katalis positif bagi emiten konstruksi pelat merah. "Pasalnya, pembayaran dari proyek pemerintah lebih terjamin," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (31/10).

Kelancaran pembayaran proyek akan tercermin terhadap arus kas emiten tersebut. Biasanya, pembayaran proyek dari BUMN dan pemerintah lebih lancar dibandingkan pembayaran dari swasta. Makanya, Riska menilai arus kas dari aktivitas operasi ADHI dan PTPP masih positif.

Arus kas ADHI dari penerimaan kas pelanggan mencapai Rp 6,52 triliun hingga kuartal III-2017. Angka ini naik 26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp 5,19 triliun. Sedangkan PTPP mencatat arus kas dari penerimaan pelanggan Rp 11,78 triliun, naik 27% dibanding kuartal III-2016, Rp 9,26 triliun.

Margin laba

Sekretaris Perusahaan PTPP Nugroho Agung Sanyoto juga mengatakan, PTPP lebih nyaman mendapatkan proyek-proyek pemerintah dan BUMN. Pasalnya, tak sedikit pemilik proyek swasta yang pembayarannya tidak lancar, bahkan gagal bayar.

Karena itu Nugroho mengaku PTPP selalu menyiapkan sistem pengamanan berlapis guna menghindari proyek-proyek yang berpotensi seret. "KalauĀ track recordĀ pemilik proyek buruk, langsung kami batalkan," ujar Nugroho, belum lama ini.

Selain karena proyek infrastruktur pemerintah yang lebih banyak, perubahan komposisi ini juga dipengaruhi inisiatif perusahaan sendiri. Seperti diketahui, PTPP tidak lagi mengambil proyek dengan nilai di bawah Rp 150 miliar. "Ini sudah kami lakukan sejak akhir tahun lalu," imbuh Nugroho. PTPP juga sudah tidak mengambil proyek yang didanai APBD tingkat I dan II.

Tapi, Riska mengatakan, perubahan porsi kontrak ini berpotensi membuat margin emiten karya pelat merah menipis. "Apalagi emiten konstruksi BUMN memang diharapkan mengambil proyek yang cenderung dihindari kontraktor swasta, bukan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan," jelas dia.

Untungnya, kini emiten konstruksi BUMN punya ladang bisnis beraneka ragam. Diversifikasi bisnis ini masih membuat margin laba emiten tetap tumbuh. Jadi, saat satu segmen tengah merugi, segmen bisnis lainnya bisa menutupi, bahkan dapat memberi margin lebih tinggi.

Hal ini sudah tercermin dari margin kotor PTPP dan ADHI. Hingga kuartal III-2017, margin kotor PTPP sebesar 14%, naik dari sebelumnya 13%. Sementara itu, margin laba kotor ADHI tercatat sebesar 12%, lebih tinggi dari margin kotor di periode yang sama tahun lalu, sekitar 9%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini