KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) begitu mendominasi industri panas bumi di Indonesia. Kendati demikian, bukan berarti perusahaan BUMN tidak menghadapi kendala dalam pengembangan pembangkit berbasis panas bumi. Dikutip dari situs PT Pertamina (Persero), terdapat 14 wilayah kerja (WK) panas bumi yang kini dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan kapasitas terpasang sebesar 672 megawatt (MW) own operation dan 1.205 MW joint operation contract (JOC). Jika digabung, total kapasitas terpasang di seluruh WK PGE berkontribusi sebesar 94% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia yang mencapai 2.047 MW.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, BUMN sebenarnya sudah mengembangkan panas bumi sejak era 1970-an. Kala itu Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berkecimpung di sektor tersebut sebelum kemudian bisnis usaha panas bumi Pertamina dipisahkan pada 2003. Akhirnya, lahirlah PGE pada tahun 2006. Penguasaan BUMN di bidang panas bumi pada awalnya merupakan hasil dari kebijakan dan preferensi pemerintah, meski pada dekade 1980-an perusahaan migas swasta asing juga ikut masuk ke bisnis panas bumi. “PGE juga menguasai sumber-sumber panas bumi yang punya entalpi tinggi sebagai hasil kegiatan eksplorasi di 1970-an dan 1980-an,” ungkap dia, Rabu (21/10). Fabby menyebut, seiring berjalannya waktu, pengembangan panas bumi mengalami peningkatan risiko. Hal ini lantaran eksplorasi panas bumi lebih luas dan semakin menjangkau daerah-daerah dengan kondisi geografis yang sulit. Akibatnya, biaya eksplorasi juga semakin meningkat.
Baca Juga: Genjot pemanfataan panas bumi, Pertamina bakal gandakan kapasitas terpasang ke 1,3 GW Pengembangan panas bumi juga bertambah berat karena dinamika sosial yang semakin kompleks. Pihak BUMN pun ikut menghadapi tantangan tersebut sehingga cenderung berhati-hati dalam pengembangan panas bumi. Menurut Fabby, sikap kehati-hatian BUMN tersebut disebabkan adanya kekhawatiran bahwa risiko eksplorasi panas bumi dapat dianggap merugikan negara. Padahal, kegiatan eksplorasi pada dasarnya tidak ada yang 100% sukses. Untuk level Indonesia, tingkat kesuksesan eksplorasi panas bumi umumnya hanya sekitar 30%. Jadi, biaya yang dikeluarkan BUMN pada kegiatan eksplorasi dipastikan akan hilang dan tidak bisa langsung kembali, kecuali ditemukan lapangan yang dapat dikembangkan menjadi pembangkit listrik.
Ditambah lagi, selama ini BUMN harus merogoh kantongnya sendiri ketika melakukan kegiatan eksplorasi. Padahal, kemampuan finansial BUMN ada batasnya, sedangkan pengembalian investasi atas kegiatan eksplorasi panas bumi berlangsung cukup lama. “Jadi kemampuan modal menjadi salah satu kendala juga,” imbuh dia. Fabby melihat, sejauh ini PGE masih memiliki lapangan dan WK panas bumi yang belum dikembangkan. Di samping PGE, ada juga PT Geo Dipa Energi yang melakukan tugas-tugas eksplorasi serta berpotensi mengembangkan asetnya. Kemudian ada pula PLN Geothermal yang sudah memulai tahap eksplorasi. Praktis, perusahaan swasta yang paling dekat untuk bersaing dengan BUMN adalah Star Energy Geothermal yang merupakan anak usaha PT Barito Pasifik Tbk (BRPT). “Paling tidak secara agregat, BUMN masih menguasai potensi sumber daya panas bumi yang cukup besar,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .