KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%. Sebelumnya, BI memang sudah menaikkan bunga acuan BI 7DRRR pada September 2018 lalu sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Artinya, setidaknya sampai dengan bulan November 2018 ini BI sudah menaikkan bunga acuan sebanyak enam kali atau sebesar 175 bps. Menurut sejumlah bankir yang dihubungi Kontan.co.id, kenaikan suku bunga acuan BI tersebut menandakan era bunga tinggi akan segera dimulai. Khususnya pada tahun depan.
Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menyebut tahun depan tren suku bunga masih akan cenderung meningkat. Hal tersebut memang sudah sejalan dengan kondisi yang ada di pasar, salah satunya indikator dari kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang diprediksi masih akan naik tiga kali di tahun depan. "Betul, tahun depan tren suku buga masih akan cenderung meningkat, sesuai dengan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan BI policy rate," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (15/11). Iman menambahkan, dalam kondisi seperti ini, perbankan termasuk BTN tentu bakal menyesuaikan tingkat suku bunga sejalan dengan kondisi pasar. Hal tersebut dilakukan agar perbankan dapat menjaga stabilitas margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang tentunya menjadi indikator profitabilitas bank. Namun, Iman memproyeksi di tahun depan memang akan terjadi tekanan NIM dari masing-masing bank. Menurutnya, seluruh bank sudah menyiapkan amunisinya masing-masing agar dapat bertahan dan tumbuh. "Prinsipnya, semuanya harus tetap berlanjut. Kita harus menyiapkan diri dengan kondisi new normal berupa tingkat suku bunga yang akan lebih tinggi," sambungnya. Di sisi lain, Direktur Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (Bank Jatim) Ferdian Satyagraha menyebut efek dari kenaikan suku bunga acuan adalah likuiditas bakal semakin ketat. "Tahun depan likuiditas diperkirakan lebih ketat, terutama tren suku bunga DPK kecenderungannya akan naik," katanya. Kenaikan bunga acuan bank sentral ini sudah diprediksi oleh sebagian besar bank termasuk Bank Jatim. Untuk menanggulangi efek tersebut, ke depan Bank Jatim akan lebih mengoptimalkan strategi dana murah terutama dana kontraktor untuk pengerjaan proyek pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Ferdian menjelaskan, prioritas Bank Jatim ke depan adalah untuk meningkatkan volume DPK terutama dana murah (
current account and saving account/CASA). Sebabnya, transmisi kenaikan bunga acuan pertama kali biasanya akan berdampak ke bunga dana yang bisa berdampak pada meningkatnya beban bunga perbankan. Alhasil, untuk menyeimbangkan hal tersebut, bank cenderung akan menaikkan bunga kredit. Tahun ini saja Bank Jatim memperkirakan porsi CASA akan didorong ke level 65,94% terhadap seluruh dana pihak ketiga (DPK). Sementara tahun depan porsi CASA bakal didongkrak ke 67,25%. Hal ini juga dilakukan untuk menekan laju biaya dana alias
cost of fund (CoF) agar tidak terlalu agresif. Setidaknya tahun ini CoF Bank Jatim maksimal akan dijaga di 3,14%. Sementara untuk tahun 2019 maksimal dijaga di kisaran 3,45%. Per September 2018 posisi biaya dana bank berkode emiten BJTM ini ada di level 3,07%. Sepakat dengan Bank Jatim, Direktur Utama PT Bank Dinar Internasional Tbk Hendra Lie menuturkan kalau melihat perkembangan BI rate yang sudah naik sebanyak 175 basis poin dan ditambah sentimen FFR naik tiga kali lagi di tahun depan. Maka bukan era suku bunga saja yang naik, melainkan pula era kenaikan biaya dana. Artinya, bila biaya dana bank sudah terpantau naik maka hanya menunggu waktu bunga kredit bakal terkerek. "Kalau melihat perkembangan suku bunga acuan BI sudah naik 1,5% diprediksi fed bakal naik tiga kali 2019, tentu di tahun depan cost of fund bakal naik sehingga lending rate juga akan naik," katanya. Ya, menurut Hendra dalam mentransmisikan suku bunga, tingkat bunga simpanan memang akan lebih dulu naik. Misalnya saja di Bank Dinar, sepanjang Januari hingga November 2018 pihaknya sudah menaikkan bunga deposito sebanyak dua kali, setara 100 bps. Sementara untuk bunga kredit baru naik satu kali sebanyak 50 bps. Walau baru naik satu kali, bank pastinya mencari cara agar bisa menjaga suku bunga kredit stabil salah satunya agar tidak membenani nasabah. "Kami deposito sudah naik dua kali berkisar 1% untuk kredit satu kali, untuk bunga kredit kami memang harus melihat perkembangan di pasar juga," katanya. Begitu pula Direktur Utama PT Bank BRI Agro Tbk Agus Noorsanto yang mengatakan kenaikan bunga akan terjadi, dan saat ini sebenarnya kenaikan dari sisi simpanan sudah mulai terasa. Terutama untuk bunga kredit, Agus memprediksi kenaikannya baru akan terasa di tahun 2019 mendatang. "Peningkatan suku bunga kredit sepertinya tinggal menunggu waktu saja," ungkapnya. Menurutnya, BRI Agro harus mencari celah agar dapat mencetak keuntungan. Ke depan, trennya menurut Agus bank akan berusaha lebih gencar untuk meningkatkan pendapatan non bunga alias fee based income. "Salah satunya inovasi produk berbasis aplikasi digital dalam layanan pinjaman dan simpanannya, pembiayaan secara selektif baik itu debitur maupun sektor yang dibiayai," katanya. Agus menegaskan, bank yang tidak bisa menemukan celah untuk ekspansi seperti mendongrak
fee based, dipastikan bakal emmakan buah pahit berupa menurunnya NIM.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja justru menganggap kenaikan BI Rate kali ini belum bisa dibilang tinggi. "Rasanya dengan tingkat bunga BI 6% belum bisa dibilang tinggi, kalau dilihat historically harusnya ini masih cukup normal," katanya. Walau demikian, Parwati tak menampik kalau bunga kredit akan mengalami kenaikan ke depan lantaran kenaikan bunga acuan belum sepenuhnya ditransmisikan. "Dengan rencana kenaikan The Fed di 2019, sudah sewajarnya kita perkirakan bunga akan mengalami penyesuaian lebih lanjut baik dari sisi dana maupun pinjaman," sambungnya. Walau begitu, kata Parwati ada sisi baik kenaikan bunga acuan yakni bisa mendongkrak jumlah simpanan nasabah di perbankan, yang saat ini sedang seret. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi