JAKARTA. Di tengah ambruknya nilai tukar rupiah, likuiditas antar bank mulai mengetat. Indikasinya, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight menunjukkan tren meningkat. Gambaran saja, di akhir Juli 2015, suku bunga PUAB overnight di kisaran 5,66%. Di akhir Agustus, suku bunga antar bank bergerak naik sembilan basis poin (bsp) ke level 5,75 (lihat tabel). Asal tahu saja, suku bunga PUAB telah menyentuh level 5,7% dalam tempo sepekan terakhir. Kenaikan tertinggi terjadi pada suku bunga PUAB dengan tenor lebih dari satu minggu yang tembus 6,03% dari posisi 5,71% di bulan Juli 2015.
Tren naik suku bunga PUAB terendus oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sekretaris Perusahaan LPS, Samsu Adi Nugroho mengatakan, beberapa bank membutuhkan likuiditas sehingga memicu kenaikan bunga. Hal ini, menurut Samsu, hanya bersifat temporer atau terjadi di bulan tertentu yang memang mengetat dibandingkan dengan bulan yang lainnya. Hanya saja, "Belum bisa dilihat sebagai tanda likuiditas mengetat. Karena dari sisi jumlah likuiditas dan besaran tingkat bunga masih terbilang baik," ujar Samsu kepada KONTAN, kemarin. Efek kurs Parwati Surjaudaja, Direktur Utama Bank OCBC NISP mengatakan, kenaikan suku bunga PUAB lebih disebabkan karena kenaikan suku bunga rupiah di pasar swap. "Seiring naiknya permintaan lindung nilai (hedging) mata uang asing di pasar,” ujarnya. Senada, Benny Purnomo Direktur Utama Bank MNC menambahkan, sejumlah bank membutuhkan pasokan dana lebih tinggi untuk melakukan swap dan lindung nilai alias hedging di tengah pelemahan kurs rupiah. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) menyatakan, kondisi likuiditas BCA masih longgar. Hal ini tercermin dari rasio likuiditas yang menghitung pinjaman berbanding dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) BCA yang sebesar 75%. Bank kecil juga menampik adanya pengetatan likuiditas di pasar uang antar bank. Hendra Lie, Direktur Utama Bank Dinar menyatakan, kondisi likuiditas Bank Dinar masih cukup baik. Yang jelas, kenaikan suku bunga PUAB dan pelemahan kurs menekan stabilitas perbankan. Sebab, dua komponen ini atau disebut interbank pressure (IP) dan market pressure (MP), berkontribusi besar terhadap indeks stabilitas perbankan (banking stability index/ BSI).
Beruntung, komponen lain yakni credit pressure (CP), mengalami kenaikan tinggi ketimbang komponen IP dan MP. Dus, indeks stabilitas perbankan menguat tipis sebesar 6 basis poin dari 100,31 di Juni menjadi 100,25 di Juli 2015. Namun, menurut Samsu, kenaikan suku bunga PUAB dan pelemahan nilai tukar rupiah masih berpotensi menekan stabilitas perbankan di masa depan. Sebab, kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian. "Tapi saat ini masih belum menggangu likuiditas industri perbankan," jelas Samsu. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Mei 2015, LDR perbankan berkisar 88,72%. Adapun, rasio LDR kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) III paling tinggi, yakni sebesar 96,36%. Disusul oleh LDR dari bank BUKU IV sebesar 85,16%, bank BUKU II 84,18% dan bank BUKU I 76,20%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri