JAKARTA. Tahun ini disebut-sebut merupakan periode berat bagi industri keuangan. Tahun depan pun tantangan berat masih mengintai. Pertumbuhan ekonomi yang masih rendah dan pergerakan bunga menjadi dua faktor yang mempengaruhi rapor kinerja industri keuangan di tahun ini dan tahun 2017. Perlambatan ekonomi menyebabkan permintaan kredit lesu. Industri perbankan, semisal, membukukan pertumbuhan kredit satu digit sebesar 8,5% menjadi Rp 4.321,55 triliun per November 2016 ketimbang periode sama tahun lalu. Kinerja industri multifinance lebih melempem. Penyaluran pembiayaan naik tipis 4,43% menjadi Rp 380,19 triliun per Oktober 2016. Di tengah sepinya permintaan kredit, pemerintah terus mendesak agar suku bunga kredit jadi satu digit. Harapannya, bisa menggulirkan perekonomian karena permintaan kredit meningkat.
Tapi apa mau dikata, hingga pengujung tahun ini, era suku bunga kredit satu digit belum bisa tercapai. Hanya sejumlah bank yang telah mematok bunga kredit satu digit. Itupun untuk segmen kredit tertentu. Penelusuran KONTAN, di kredit pemilikan rumah (KPR), hanya Bank Tabungan Negara (BTN) yang mematok suku bunga dasar kredit (SBDK) satu digit, yakni sebesar 9,75% per Desember 2016. Sedangkan, SBDK kredit mikro yang efek gulirnya ke ekonomi cukup besar masih bertengger tinggi di kisaran 17,50%-19,25%. Tahun 2017, ketersediaan likuiditas akan menentukan arah suku bunga. Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang berniat menaikkan suku bunga hingga tiga kali di tahun depan, bisa saja menipiskan peluang industri keuangan terutama perbankan untuk menurunkan bunga. Tahun ini saja, saat Bank Indonesia (BI) agresif memangkas suku bunga acuan, bank justru masih lambat menggunting bunga. BI mencatat penurunan suku bunga kredit perbankan hanya 67 basis poin (bps) sejak awal tahun hingga November 2016. Padahal, suku bunga deposito turun 131 bps. Itu sebabnya, margin bunga bersih (NIM) perbankan masih menanjak ke level 5,65% di Oktober 2016 dari 5,39% di Desember 2015. Tahun depan, meski ada desakan suku bunga satu digit, NIM perbankan diperkirakan tetap di level 5%-6%. Kendati peluang penurunan bunga menyempit, ruang untuk menggunting bunga tetap terbuka. Tahun depan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun BI terus mendorong industri untuk menerapkan suku bunga kredit
single digit. Terlebih, dari sisi likuiditas, ada potensi dana repatriasi program amnesti pajak yang masuk ke sistem perbankan sebesar Rp 140 triliun. Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perbankan Nelson Tampubolon memperkirakan, pada akhir tahun depan suku bunga seluruh sektor kredit sudah satu digit kecuali bunga kredit mikro. "Memang untuk suku bunga kredit mikro dan UMKM susah untuk
single digit, karena biaya
overhead yang cukup tinggi," ujar Nelson. Tetap tumbuh
Penabuh gongnya memang di tangan para bankir. Penurunan bunga kredit mesti menjadi pertimbangan, lantaran kredit perbankan menjadi sumber pendanaan penting bagi aktivitas ekonomi. Bila permintaan kredit naik, aktivitas ekonomi pun meningkat. "Penurunan suku bunga kredit dan perbaikan ekonomi diharapkan meningkatkan permintaan kredit di 2017," ujar Jan Hendra, Sekretaris Perusahaan BCA. Tak hanya itu, industri keuangan lain pun akan mengekor. Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno bilang,
multifinance akan menyesuaikan suku bunga mengikuti sikap bank. Sebab, sumber pendanaan
multifinance sebesar 70% dari dana perbankan. "Tahun ini hanya beberapa
multifinance yang bisa menurunkan bunga karena bank belum turunkan bunga pinjam," kata Suwandi. Direktur PT Adira Dinamika Multi Finance I Dewa Made Susila mengakui, bunga kredit rendah menjadi daya tarik utama untuk menyalurkan pembiayaan. Jadi, siap masuk era bunga satu digit? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini