Bunga kredit China naik, arus dana panas tertahan



JAKARTA. Bank sentral China secara mengejutkan menaikkan suku bunga pinjaman sebesar 0,25% dari 5,31% menjadi 5,56%, Selasa (19/10). Kenaikan pertama sejak tahun 2007 ini merupakan salah satu upaya otoritas moneter China untuk mencegah gelembung (bubble) harga aset, seperti saham, komoditas, hingga properti.

Secara tidak langsung, kenaikan suku bunga pinjaman China ini akan menahan arus dana dari investor China ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Maklum, selama ini China terkenal gencar memburu komoditas perkebunan maupun pertambangan dari Indonesia.

Alhasil, penguatan nilai tukar yang melanda emerging markets beberapa bulan terakhir bisa direm. Bank Dunia menyebutkan, sejak krisis 2009 berakhir, nilai tukar di negara-negara Asia Timur rata-rata menguat 10% - 15%.


Menurut data Bloomberg, sejak awal tahun ini rupiah telah menguat 4,94% terhadap dollar AS, yaitu dari Rp 9.403 per dollar AS menjadi Rp 8.938 per dollar AS (Rabu, 20/10). Sedangkan nilai tukar yuan terhadap dollar AS telah menguat 2,55% dari CNY 6,83 per dollar AS menjadi CNY 6,65 per dollar AS.

Bank of New York Mellon Corp dalam laporan tertulisnya menilai, kenaikan suku bunga acuan China ini menunjukkan komitmen Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy Geithner terhadap nilai tukar dollar AS yang lebih kuat.

Bisa jadi, hal ini mengindikasikan perang nilai tukar (currency war) yang didengungkan oleh AS dan negara-negara Eropa di pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu mulai mereda. Sebelumnya, Geithner telah menegaskan bahwa AS tidak akan membiarkan nilai tukar dollar AS terus melemah demi mengangkat surplus perdagangannya.

David Gilmore, Analis Valas Foreign Exchange Analytics, menilai, otot dollar AS yang lebih kuat lebih baik bagi perekonomian AS. Jadi, sudah selayaknya dollar mulai menunjukkan pamornya sebagai mata uang utama dunia.

Editor: Test Test