Bunga kredit dan NIM di BTPN tertinggi



JAKARTA. Ada yang menarik dari pengumuman Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) pada 31 Maret 2011 lalu. Dalam pengumuman itu, ternyata Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN) memiliki suku bunga kredit ritel tertinggi dibandingkan bank lain, yakni 21,9% per tahun. Padahal, SBDK rata-rata dari 44 bank yang sudah mengumumkan hanya sekitar 12%.

BTPN tidak menampik data ini. Menurut BTPN, suku bunga kredit ritel mereka tinggi disebabkan dua hal. Pertama, biaya dana (cost of fund) untuk mendapatkan dana pihak ketiga (DPK) masih tinggi. Pada 2010, BTPN berhasil mengumpulkan DPK sebesar Rp 25,52 triliun atau meningkat 38% dari tahun sebelumnya. Sebesar 88% dari dana itu adalah dana mahal seperti deposito, dan 12% sisanya adalah dana murah (tabungan dan giro).

Kedua, biaya operasional BTPN masih tinggi. Biaya terbesar ialah untuk membuka cabang yang menyasar nasabah pensiun dan nasabah usaha mikro dan kecil (UMK). Misalnya, BTPN memberikan jasa layanan klinik dan pemeriksaan dokter serta beberapa vitamin secara gratis kepada nasabah pensiunan. "Ini tentu membebani biaya operasional kami," kata Direktur Keuangan Bank BTPN Arief Harris Tandjung, kemarin (4/4).


Selain memiliki SBDK ritel tertinggi, BTPN juga mencatatkan net interest margin (NIM) tertinggi sebesar 13,9%. Menurut BTPN, tingginya NIM itu karena suku bunga acuan atau BI rate yang cenderung stabil di angka 6,5% per tahun dan porsi kredit mikro yang meningkat dari 15% menjadi 20% pada 2010 dengan total nilai kredit yang disalurkan Rp 23,33 triliun.

Direktur Kepatuhan BTPN Anika Faisal menyatakan, BTPN memiliki rencana menurunkan suku bunga. "Bunga kami tinggi karena bisnis sektor ini sedang tumbuh dan kompetisi belum maksimal. Bila kompetisi meningkat maka bunga akan turun dengan sendirinya," ujar Anika kepada KONTAN.

BTPN meningkatkan pelayanan untuk menjaga loyalitas nasabah, sehingga mereka tidak pindah ke bank lain yang memiliki suku bunga ritel lebih rendah. "Pengumuman besaran SBDK belum tentu membuat nasabah pindah ke bank yang memiliki SBDK lebih rendah. Bank tentu akan mengukur risiko nasabah itu sebelum menyalurkan kredit," imbuh Anika dengan nada optimistis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.