Bunga SRBI yang Tinggi Ikut Mengerek Bunga Sumber Pendanaan Bank Non DPK



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran instrumen Bank Indonesia (BI) telah menjadi daya tarik tersendiri dengan imbal hasil tinggi yang ditawarkan. Alhasil, hal tersebut berdampak pada naiknya bunga beberapa instrumen investasi yang melahirkan likuiditas mahal bagi perbankan.

Kehadiran SRBI sejak 15 September 2023 sejalan dengan kondisi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan yang tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kredit. Per Juni 2024, DPK bank tumbuh 8,45% secara tahunan (YoY) sementara kreditnya tumbuh 12,36% YoY.

Sementara itu, bunga SRBI terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada hasil lelang terakhir 2 Agustus 2024, imbal hasil SRBI untuk tenor 6,9 dan 12 bulan ada di level 7,10%, 7,19%, dan 7,25%. Jika dibandingkan saat lelang perdana instrumen tersebut, imbal hasil yang ditawarkan untuk tenor 6,9 dan 12 bulan ada di level 6,31%, 6,40%, dan 6,41%.


Baca Juga: Minggu I Agustus, BI Catat Ada Aliran Modal Asing Masuk hingga Rp 10,27 Triliun

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan alasan SRBI memiliki imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi seperti SBN untuk menjaga agar tidak banyak aliran dana asing yang ke luar. Di mana, selama beberapa bulan terakhir, asing banyak ke luar dari SBN dan pasar saham.

Alhasil, Perry bilang perlu instrumen SRBI dengan bunga yang lebih tinggi setidaknya dalam jangka pendek. Di tambah, saat ini imbal hasil dari US Treasury untuk tenor 2 tahun juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang 10 tahun.

Sejalan dengan bunga SRBI yang terus meningkat, bunga pinjaman antar bank yang tertuang dalam indeks Indonia juga naik. 

Berdasarkan riset Kontan, suku bunga Indonia per 6 Agustus 2024 ada di level 6,25% dan trennya naik sejak lelang perdana SRBI yang kala itu suku bunga Indonia di level 5,6%.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto bilang sebagai instrumen moneter, SRBI telah mendorong pergerakan harga uang di pasar uang sesuai dengan berpegang pada kebijakan moneter. Ditambah, SRBI juga sebagai instrumen penarik inflow dan cukup diminati oleh investor asing yang memberikan dampak terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang saat ini cukup stabil.

“Kalau lihat dari reference rate di pasar uang yaitu salah satunya dari indonia, pergerakannya relatif stabil dan masih sesuai dengan stance kebijakan moneter,” ujar Edi.

Meski demikian, Edi melihat ruang penurunan suku bunga SRBI cukup terbuka. Hal ini merujuk pada sentimen global yang saat ini menimbulkan ekspektasi pelaku pasar bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga acuan lebih cepat.

Tak hanya bunga untuk pinjaman antar bank, sumber pendanaan bank dari penerbitan surat utang pun kian mahal. Analis Divisi Pemeringkatan Jasa Keuangan Pefindo, Danan Dito bilang kupon yang ditawarkan dari penerbitan obligasi ada pengaruh dari instrumen seperti SRBI selain tingkat suku bunga acuan.

Sebagai gambaran, Dito bilang untuk tenor 1 tahun, kupon wajar peringkat AAA pada Agustus 2023 di level 6,41%. Kini, kupon wajar untuk tenor dan peringkat yang sama sudah merangkat naik menjadi 6,96%.

Baca Juga: Gubernur Bank Indonesia Bantah SRBI Jadi Pesaing SBN

“Di saat yield SRBI saat ini cukup tinggi, akan pengaruh juga terhadap minat investor akan obligasi korporasi,” ujarnya.

Oleh karena itu, Dito melihat bila bunga obligasi mahal bisa membuat bank lebih wait and see, terutama bagi mereka yang memiliki likuiditas cukup. Alhasil, bank akan mengutamakan pendanaan DPK terlebih dahulu.

Dari sisi pelaku industri,  Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk Efdinal Alamsyah membenarkan bahwa instrumen seperti SRBI dapat mempengaruhi likuiditas dan biaya pendanaan di pasar.

Ia bilang SRBI yang menawarkan bunga yang lebih tinggi, bisa mengarah pada peningkatan suku bunga pinjaman antar bank dan penerbitan obligasi. Bank-bank yang ingin menarik dana dari pasar pada akhirnya harus membayar bunga yang lebih tinggi untuk memitigasi aliran dana yang keluar. 

“Ini dapat mengarah pada kenaikan suku bunga pinjaman antar bank, karena permintaan untuk dana jangka pendek meningkat,” ujarnya.

Efdinal pun berpendapat dampaknya bisa signifikan tergantung pada skala dan durasi dari penawaran bunga tinggi tersebut, serta kondisi pasar secara keseluruhan. Jika penawaran bunga tinggi bersifat sementara dan hanya mempengaruhi sebagian kecil dari pasar, dampaknya mungkin terbatas. 

“Jika instrumen tersebut mempengaruhi likuiditas secara luas dan berlangsung lama, dampaknya bisa lebih besar, termasuk dampak pada biaya pendanaan dan stabilitas pasar keuangan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi