Bunga tinggi, konsumen berat mencicil properti



JAKARTA. Perlambatan yang terjadi pada sektor properti belakangan ini juga tak terlepas dari tingkat suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA).  Tingkat suku bunga KPR/KPA yang diterapkan perbankan Nasional, dinilai masih tinggi dan belum dapat mengakomodasi pasar properti Indonesia yang didominasi kalangan masyarakat kelas menengah dan menengah ke bawah. Tak mengherankan jika Ketua APERSI Edi Ganefo memproyeksikan penurunan penjualan rumah dan apartemen diprediksi akan terus berlanjut seiring tingkat suku bunga KPR dan KPA yang tak kunjung turun.

Namun demikian, tingkat suku bunga KPR dan KPA yang dipatok perbankan masih di bawah 10%. BCA dan BRI misalnya. Kedua bank ini menerapkan suku bunga sekitar 8% dalam program KPR/KPA rumah komersial mereka.

Hingga 30 Oktober 2015 kemarin, BCA menerapkan suku bunga sebesar 9,25% tetap (fixed) satu tahun dan dua tahun. Kemudian meningkat menjadi 9,5% fixed tiga tahun dan 10% fixed lima tahun.


Sementara BRI menerapkan suku bunga hampir sama dengan BCA. Suku bunga KPR/KPA BRI adalah 8,5% fixed satu tahun lalu meningkat menjadi 9,49%  dan 9,99% fixed dua tahun dan tiga tahun. Selanjutnya menjadi 10,5% fixed lima tahun.

Meskipun tingkat suku bunga kedua bank tersebut relatif tidak berubah, namun karena kondisi ekonomi sedang melemah, tetap saja berdampak langsung kepada konsumen yang ingin membeli properti dengan memanfaatkan fasilitas KPR atau KPA.

"Sekarang ini kan suku bunga Bank Indonesia (BI) cukup tinggi sehingga bank pun harus memasang suku bunga yang juga pasti lebih tinggi. Pengaruhnya tentu saja langsung ke konsumen yang merasa berat untuk mencicil rumah-rumah atau apartemen," kata Ketua APERSI, Edi Ganefo kepada Kompas.com, Senin (2/11).

Keberatan konsumen dalam mencicil itu juga menjadi faktor melambatnya sektor properti belakangan ini. Edi mengatakan jika suku bunga bisa lebih rendah dengan jangka waktu yang lebih panjang maka hal itu akan memiliki pengaruh signifikan dalam peningkatan penjualan perumahan.

Untuk bisa mengatasi masalah suku bunga itu, Edi lantas menyarankan BI agar bisa menstabilkan suku bunga KPR dan KPA. Selain itu, Edi juga berharap BI bisa memberikan kebijakan khusus kepada properti yang diakuinya merupakan sektor fundamental bagi perekonomian Indonesia.

Kebijakan tersebut meliputi KPR baik subsidi maupun non-subsidi sehingga mampu meningkatkan kembali gairah sektor properti di Indonesia.

"Yang kita harapkan cukup banyak ya kalo untuk subsidi kan sebetulnya nggak ada masalah ya kalo bisa untuk tenornya lama ya suku bunganya di bawah 10%. Untuk perumahan non-subsidi, kredit inden dibuka lagi, kalau sekarang kan cuma rumah pertama itu pun dengan jaminan. Jadi, kalau bisa tidak usah ada jaminan itu mau rumah kedua, ketiga dan sebagainya," tutup Edi. (Ridwan Aji Pitoko)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan