Bunga utang makin besar, Indef ingatkan pemerintah waspada mengelola utang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alokasi belanja pemerintah pusat untuk melunasi bunga utang meningkat di tahun depan, yaitu menjadi Rp 295,2 triliun dalam APBN 2020. Anggaran tersebut tumbuh 6,9% dari outlook realisasi pembayaran bunga utang 2019 sebesar Rp 276,1 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani merinci, pembayaran bunga utang tahun depan terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 273,82 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 21,39 triliun.

Baca Juga: Rating Turun, Agung Podomoro (APLN) Sodorkan Pelunasan Obligasi Rp 550 Miliar


Meski tumbuh sedikit melambat dibandingkan tahun lalu yang 7%, namun nilai nominal pembayaran bunga utang makin meningkat.

Berdasarkan Nota Keuangan, sepanjang periode tahun 2015–2019, pembayaran bunga utang meningkat dari Rp 156,01 triliun menjadi Rp 276,11 triliun pada outlook APBN tahun 2019. Peningkatan bunga utang terjadi seiring dengan kenaikan outstanding utang.

Selain itu, nilai pembayaran bunga utang pemerintah tahun depan juga makin mendekati nilai pembiayaan utang yang sebesar Rp 351,9 triliun. Hal ini sempat menjadi kritik anggota Badan Anggaran DPR yang mengkhawatirkan pertumbuhan belanja bunga utang pemerintah.

“Bunga utang kita terus naik mencapai hampir Rp 300 triliun tahun depan di tengah penerimaan pajak yang menurun. Jadi, kita ini berutang hanya untuk membayar bunga utang,” tutur anggota Banggar dari Fraksi Partai Gerindra Sumarjati Arjoso.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto pun meragukan tren pertumbuhan pembayaran bunga utang akan terus menurun seperti yang diyakini pemerintah. Pasalnya, kondisi perekonomian dan fiskal saat ini hingga tahun depan diliputi ketidakpastian.

Baca Juga: Wow anggaran pembayaran bunga utang saja tahun 2020 mencapai Rp 295 triliun

“Rencana pembiayaan utang di tahun depan dilaksanakan dalam kondisi ekonomi global yang kemungkinan sedang suram. Selain rasio utang terhadap PDB, harus ada rambu lain yang menjadi standar kebijakan utang,” tutur Eko, Rabu (11/9).

Rambu lain tersebut, menurut Eko , ialah rasio utang kita terhadap penerimaan ekspor atau DSR (Debt to Service Ratio). Di tengah risiko perang dagang, menurunnya harga komoditas, dan ekspor yang lesu. nilai DSR diyakini akan terus meningkat.

Kondisi ini berpotensi menjadi tanda waspada bagi kesehatan utang Indonesia.“Jadi belum ada tanda-tanda kuat bahwa beban utang ke depan akan lebih ringan, jika melihat situasi utang saat ini,” lanjutnya. 

Tren bunga memang merendah, namun Eko menilai, preferensi investor terhadap surat utang Indonesia juga berpotensi berkurang jika rasio-rasio ketahanan ekonomi seperti DSR tersebut kurang baik. 

Baca Juga: Tanggapan Tempo soal penghilangan PPN pembelian kertas koran dan produk media cetak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli