KONTAN.CO.ID - Pasar saham Asia bergerak hati-hati pada perdagangan Rabu (17/12/2025) setelah data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang beragam gagal mengubah ekspektasi arah suku bunga. Investor pun masih menunggu petunjuk lanjutan sebelum mengambil langkah berikutnya. Di sisi lain, harga minyak melonjak tajam setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan “blokade total dan menyeluruh” terhadap seluruh kapal tanker minyak yang dikenai sanksi dan keluar-masuk Venezuela. Kontrak berjangka minyak mentah AS (WTI) naik 1,5% ke level US$56,12 per barel, sementara minyak Brent menguat 0,8% menjadi US$59,37 per barel.
Baca Juga: Regulator California Tunda Perintah Penangguhan Penjualan Tesla Kenaikan ini membalikkan penurunan tajam pada sesi sebelumnya, ketika pasar sempat tertekan oleh harapan tercapainya kesepakatan damai Rusia-Ukraina yang berpotensi melonggarkan sanksi. Di pasar saham, investor mencermati laporan ketenagakerjaan AS yang lama ditunggu-tunggu. Pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian memang bangkit lebih kuat dari perkiraan pada November, setelah mencatat penurunan terdalam hampir lima tahun pada Oktober. Namun, tingkat pengangguran justru naik ke level tertinggi dalam lebih dari empat tahun, yakni 4,6%. Data tersebut dinilai penuh distorsi akibat penutupan pemerintahan AS selama 43 hari, terlama dalam sejarah.
Baca Juga: Ekspor Singapura Naik 11,6% pada November, Melampaui Perkiraan “Masalah pengumpulan data akan membuat banyak pihak ragu untuk menarik kesimpulan terlalu jauh dari angka ketenagakerjaan terbaru ini,” kata Kepala Riset Makro Monex Europe, Nick Rees. Meski demikian, ia menilai sinyal perlambatan pasar tenaga kerja AS terlihat lebih cepat dari yang diperkirakan para pembuat kebijakan. Indeks MSCI Asia Pasifik di luar Jepang naik tipis 0,16%, sementara indeks Nikkei Jepang melemah tipis. Kontrak berjangka Nasdaq turun 0,26% dan S&P 500 melemah 0,14%, setelah Wall Street ditutup bervariasi pada sesi sebelumnya. Pasar masih memperkirakan sekitar dua kali pemangkasan suku bunga AS tahun depan. Data ketenagakerjaan terbaru dinilai belum cukup kuat untuk mengubah ekspektasi tersebut. Fokus investor kini beralih ke rilis data inflasi AS bulan November yang dijadwalkan Kamis. “Kami masih melihat dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada paruh pertama tahun depan, yakni pada pertemuan Maret dan Juni,” tulis ekonom Wells Fargo, seraya menambahkan risiko justru mengarah pada pelonggaran lebih lanjut pada 2026. Imbal hasil obligasi pemerintah AS relatif stabil. Yield obligasi tenor 10 tahun berada di 4,15%, sementara yield dua tahun di 3,49%.
Baca Juga: Trump Perintahkan Blokade Kapal Tanker Minyak Bersanksi yang Keluar-Masuk Venezuela Menanti Keputusan Bank Sentral Selain AS, perhatian investor juga tertuju pada keputusan kebijakan moneter Bank of England (BoE), Bank Sentral Eropa (ECB), dan Bank of Japan (BOJ) yang akan diumumkan pekan ini. BoE diperkirakan memangkas suku bunga, ECB diprediksi menahan kebijakan, sementara BOJ dinilai berpeluang menaikkan suku bunga.
Pergerakan mata uang relatif terbatas. Dolar AS masih melemah, dengan euro menguat tipis 0,04% ke US$1,1751. Yen Jepang menguat 0,1% ke 154,60 per dolar AS. Poundsterling stabil di US$1,3422 menjelang rilis data inflasi Inggris. Sementara itu, harga emas spot naik 0,35% ke level US$4.318,99 per ons.