Bursa China jatuh dalam kurun 6 pekan



HONG KONG. Bursa saham China yang diperdagangkan di Hong Kong mengalami penurunan terbesar dalam enam pekan terakhir setelah harga komoditas anjlok dan saham kredit China saat ini merosot.

Indeks Hang Seng China Enterprises Hong Kong turun 2,4 % ke level 10.155,78 pada pukul 03:07 sore waktu setempat, Jumat (13/11) menyeret perusahaan-perusahaan minyak dan bank. Saham China Construction Bank Corp, perusahaan pemberi pinjaman terbesar kedua di China, dan PetroChina Co, perusahaan produsen energi terbesar, turun setidaknya 2 %. Di sisi lain, indeks Shanghai Composite melemah 1,4 % ke level 3.580,84 pada penutupan perdagangan hari ini.

Asal tahu saja, saham China mengikuti kenaikan ekuitas global setelah saham komoditas anjlok seiring harga minyak diperdagangkan mendekati level U$ 42 per barel dan tembaga mendekati level 6 tahun terendah di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi China yang akan mengganggu permintaan global.


Pembiayaan agregat meluncur ke angka 476.7 miliar yuan (U$ 75 miliar), Bank Rakyat China mengatakan setelah penutupan pasar kemarin. Itu merupakan level terendahnya dalam 15 bulan terakhir dan kurang dari setengah perkiraan rata-rata dari 1,05 triliun yuan.

Data pertumbuhan kredit seminggu terakhir menunjukkan penurunan pada sektor ekspor, tingkat inflasi, perlambatan produksi industri, dan peningkatan belanja ritel. Rilis tersebut menggarisbawahi adanya tantangan pemerintah untuk menopang pertumbuhan awal dalam perekonomian didukung oleh kelebihan kapasitas dan utang.

Sementara itu, indeks CSI 300 turun 1,3 % pada penutupan perdagangan Jumat ini. Sementara Indeks Hang Seng melemah 2,3 % di Hong Kong. Indeks Hang Seng telah jatuh 3,7 % selama sepekan ini, memperpanjang penurunan pada tahun 2015 menjadi 15 %.

Indeks Shanghai Composite, jatuh 0,3 % dalam lima hari terakhir, rebound sebesar 11 % selama tahun ini, didorong oleh keenam kalinya pemangkasan suku bunga dalam kurun waktu setahun terakhir dan tanda-tanda bahwa langkah-langkah tersebut belum pernah terjadi sebelumnya yang meningkat senilai U$ 5 triliun guna menstabilkan ekuitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto