KONTAN.CO.ID - Bursa saham Asia mencatat penguatan pada Senin (23/12), setelah data inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih rendah dari perkiraan memicu harapan baru untuk pelonggaran kebijakan moneter di tahun mendatang. Di sisi lain, kekhawatiran akan penutupan pemerintah AS berhasil dihindari, memberikan dorongan tambahan bagi pasar. Setelah pekan sebelumnya dipenuhi keputusan penting bank sentral, pekan ini relatif lebih tenang.
Hanya risalah beberapa pertemuan yang akan dirilis, tanpa ada pidato dari pejabat Federal Reserve. Data ekonomi dari AS pun dinilai kurang signifikan.
Baca Juga: Laju IHSG Hari Ini Diproyeksi Berpotensi Menguat Terbatas Namun, tema besar masih serupa. Dolar AS tetap kuat berkat ekonomi yang relatif solid dan imbal hasil obligasi yang tinggi, yang pada akhirnya menjadi tekanan bagi komoditas seperti emas serta tantangan bagi negara-negara berkembang yang harus melindungi mata uang mereka dari depresiasi lebih lanjut demi menghindari inflasi domestik. Meski demikian, efek positif dari laporan inflasi AS cukup untuk mendorong MSCI, indeks terluas saham Asia-Pasifik di luar Jepang, naik 0,3%. Indeks Nikkei Jepang menguat 0,7%, sementara saham Korea Selatan naik 0,9%. Kontrak berjangka S&P 500 menambahkan 0,3% dan Nasdaq naik 0,4%. Meskipun S&P 500 turun hampir 2% pekan lalu dan Nasdaq melemah 1,8%, Nasdaq masih mencatat kenaikan 30% sepanjang tahun ini. Namun, analis di Bank of America (BofA) mengingatkan bahwa kenaikan S&P 500 tahun ini sebagian besar didorong oleh 12 perusahaan terbesar.
Baca Juga: IHSG Berpeluang Menguat, Intip Rekomendasi Saham untuk Hari Ini (23/12) Jika perusahaan-perusahaan tersebut dikeluarkan, pertumbuhan hanya mencapai 8%, menunjukkan risiko konsentrasi yang tinggi menjelang 2025. Wall Street sempat bangkit pada Jumat lalu ketika data inflasi inti AS menunjukkan angka yang lebih rendah dari perkiraan, yakni 0,11%. Hal ini sedikit meredam kekhawatiran akibat sikap hawkish Federal Reserve sebelumnya. Pasar berjangka dana The Fed kini memproyeksikan peluang 53% untuk pemotongan suku bunga pada Maret dan 62% pada Mei. Namun, hanya dua kali pemotongan suku bunga sebesar 0,25% yang diperkirakan pada 2025, dengan target suku bunga mencapai 3,75-4,0%. Beberapa bulan lalu, pasar masih berharap suku bunga bisa mencapai titik terendah di sekitar 3,0%. Harapan pemotongan suku bunga yang lebih sedikit ini, dikombinasikan dengan ekspektasi pengeluaran pemerintah yang dibiayai utang, telah memberi tekanan pada pasar obligasi.
Baca Juga: Awal Pekan Pendek di Periode Natal, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini Imbal hasil obligasi 10 tahun melonjak hampir 42 basis poin dalam dua pekan terakhir, kenaikan terbesar sejak April 2022. Di pasar mata uang, indeks dolar tetap mendekati level tertinggi dua tahun di 107,970, setelah naik 1,9% sepanjang bulan ini. Euro berada di posisi rentan di US$1,0432 setelah kembali menguji level support di sekitar US$1,0331/43 pekan lalu. Dolar AS yang kuat juga menjadi tekanan bagi harga emas, yang bertahan di US$2.624 per ons troi setelah turun 1% pekan lalu. Di sisi lain, harga minyak mentah juga tertekan oleh kekhawatiran atas permintaan China yang melemah menyusul data penjualan ritel yang mengecewakan pekan lalu. Brent naik tipis 4 sen menjadi US$73,00 per barel dan minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 12 sen menjadi US$69,58 per barel.
Pasar global kini memasuki masa akhir tahun dengan kehati-hatian tinggi, meskipun harapan terhadap inflasi yang lebih terkendali di AS memberikan optimisme bagi pergerakan selanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto