KONTAN.CO.ID - Di awal tahun 2020 ini, bursa saham berhadapan dengan kenyataan pahit. Pukulan bertubi-tubi menghantam dari berbagai sisi, baik dari aspek ekonomi maupun non-ekonomi, dari dalam dan luar negeri. Sampai dengan tulisan ini dibuat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah tergelincir 6,867%. Hal tersebut menjadikan rapor Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah yang terburuk ketimbang bursa utama lain di kawasan Asia Pasifik. Bukan hanya itu, transaksi di BEI juga sangat sepi, volume dan nilai transaksinya merosot drastis, yakni hampir 50% dari rerata transaksi harian tahun sebelumnya. Goncangan ini diyakini akan melahirkan keseimbangan (
equilibrium) baru di pasar modal Indonesia. Fundamental makroekonomi Indonesia sebenarnya masih solid sampai saat ini. Data pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 5,02% memang di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi secara umum kinerja tersebut tidak terlalu mengecewakan.
Hal ini karena pertumbuhan ekonomi negara lain, terutama yang masuk kelompok G20 juga relatif stagnan, bahkan cenderung melambat seperti yang dialami China. Artinya, faktor penyebab kejatuhan bursa saham saat ini lebih disebabkan karena variabel di luar indikator makro. Menariknya, berdasarkan hasil riset yang ada, bulan Januari biasanya merupakan bulan "pesta pora" para pelaku pasar. Adanya
Januari Effect menjadikan pelaku pasar bergairah bertransaksi sehingga indeks akan naik signifikan, begitupun dengan volume dan nilai transaksi yang biasanya melonjak tajam. Anomali seperti ini memang tidak hanya terjadi di tahun ini saja, tetapi kejadian di awal tahun 2020 ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan menarik untuk dicermati.
Keseimbangan baru Penyebab pertama buruknya kinerja bursa saham Indonesia saat ini adalah adanya goncangan di industri keuangan non bank (IKNB). Seperti sebuah kebetulan, berbagai sentimen negatif yang menimpa IKNB datang dalam rentang waktu yang berimpitan. Kasus yang membelit Minna Padi, diikuti dengan Narada, Jiwasraya, Asabri, Emco, hingga polemik di kalangan nasabah Kresna Life dan Wana Artha Life. Yang paling besar guncangannya adalah Jiwasraya. Saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan penyidikan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang dalam tahap penyelesaian audit, dan DPR sudah membahasnya dalam Panitia Kerja (Panja). Selain dugaan nilai kerugian negara sangat material, pelaku yang telah menjadi tersangka diyakini oleh sebagian pihak adalah pemain besar di bursa saham selama ini. Mereka biasanya memutar uang dalam jumlah besar dan menjadikan transaksi di BEI menjadi ramai. Sinyalemen tersebut memang belum diuji secara ilmiah, tetapi faktanya semenjak kasus Jiwasraya merebak sampai sekarang, rerata transaksi harian nilainya berada di kisaran Rp 6 triliun. Trader saham mulai mengeluh sulitnya mendapatkan keuntungan dan perusahaan efek terpukul dengan merosotnya
fee transaksi. Industri keuangan, baik bank maupun non bank mempunyai karakteristik khusus, yaitu bermodal kepercayaan dari masyarakat. Ketika meledak kasus Jiwasraya dengan dugaan kerugian negara puluhan triliun rupiah, kekhawatiran pelaku pasar mulai mencuat. Efek domino dari kasus tersebut mengikis kepercayaan masyarakat dan harus segera disikapi dengan bijak. Banyak pemegang polis asuransi, terutama
unitlink yang khawatir akan mengalami kesulitan untuk mencairkan polis yang telah jatuh tempo dan kemungkinan ada kendala dalam pengajuan klaim. Mungkin mereka berpikir, jika asuransi yang berstatus BUMN saja pengeloaannya tidak
prudent, maka ada kemungkinan yang dimiliki korporasi swasta akan mengalami hal yang sama. Bisa dibayangkan jika efek psikologis berupa rasa panik ini tidak teratasi, berarti industri asuransi dalam bahaya besar. Demikian juga dengan industri reksadana, kuat dugaan akhir-akhir ini banyak institusi pengelola dana (
asset management) yang melakukan
redemption sehingga indeks terperosok dalam. Mungkin saja hal ini dilandasi dengan kekhawatiran adanya miskelola dalam penempatan portofolio, terutama pada saham-saham yang berisiko tinggi. Investor reksadana memilih mencairkan dana mereka dan menempatkannya dalam aset yang lebih aman seperti emas (
safe haven). Data yang ada menunjukkan nilai aktiva bersih (NAB) reksadana cenderung turun, meskipun diyakini penurunannya masih dalam tingkatan yang wajar. Tetapi bagaimanapun juga, situasi saat ini tidak boleh terus berlangsung. Variabel kedua yang berkontribusi negatif terhadap kinerja IHSG saat ini adalah adanya potensi turbulensi ekonomi yang disebabkan situasi ekonomi, politik, dan keamanan global yang kurang kondusif. Dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China belum sepenuhnya mereda. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) menimbulkan tanda tanya baru, serta meluasnya eskalasi konflik di Timur Tengah turut menjadikan bursa saham kita kian berat langkahnya ke depan. Gaya kepemimpinan Presiden Donald Trump cenderung tidak disukai pasar, belum lagi dari segi politik perdagangan, yang mengedepankan proteksionisme demi kepentingan domestik AS. Penyebab ketiga, adalah faktor non-ekonomi yang kemudian berdampak besar terhadap situasi ekonomi global yaitu muncul dan meluasnya wabah virus Korona yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) sekarang dinamakan Covid-19 dan telah menyebabkan dunia dalam keadaan darurat global virus tersebut. Persoalannya adalah episentrum penyakit ini ada di China, negara yang saat ini punya Produk Domestik Bruto (PDB) yang berkontribusi sekitar 16% terhadap kue ekonomi dunia. Di luar China, Covid-19 sekarang juga meluas ke Singapura dan pemerintah setempat telah meningkatkan level kewaspadaannya. China dan Singapura adalah dua negara sekutu dagang yang sangat penting bagi Indonesia. Di Indonesia, sektor yang terdampak adalah pariwisata dan sektor turunannya. Kegiatan ekspor-impor, terutama dengan China juga terganggu. Jika eskalasinya terus meluas dan berlangsung lama, bukan tidak mungkin dampak yang lebih serius akan terjadi yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi nasional. Investor sekarang sedang berhitung dan melakukan
rebalancing terhadap portofolio mereka. Dalam jangka pendek, besar peluang IHSG akan menuju
all time low secara tahunan. Ketika nantinya terjadi
rebound, angka 6.000 akan menjadi level psikologis baru. Volume dan nilai transaksi tampaknya sulit kembali pada level "normal" sebelum adanya proses penyelesaian berbagai kasus secara komprehensif.
Bursa saham sedang mencari keseimbangan baru. Proses ini mungkin berjalan agak lama dan ini artinya para pelaku pasar modal untuk sementara waktu akan "puasa" dari kesempatan mendapatkan keuntungan signifikan seperti sebelumnya. Penulis : Rini Sumantyo Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti