KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam satu dekade terakhir, ekonomi China kian membesar dan menjelma menjadi raksasa dunia. Bukan hanya sektor riil, pasar modal Tiongkok juga makin diperhitungkan di percaturan global. Indeks Shanghai Komposit, salah satu indeks utama di Bursa Shanghai, pada Kamis (15/2) lalu, mencatatkan kapitalisasi pasar US$ 5,10 triliun. Indeks Shenzhen Komposit, yang menjadi acuan di Bursa Shenzhen, membukukan kapitalisasi pasar US$ 3,44 triliun. Sedangkan indeks Hang Seng, yang mewakili Bursa Hong Kong, memiliki kapitalisasi pasar US$ 2,56 triliun. Ketiga indeks itu mampu mengimbangi dominasi indeks-indeks di Wall Street, Amerika Serikat. Dow Jones Industrial Average (DJIA), misalnya, mencatatkan kapitalisasi pasar US$ 6,73 triliun.
Korporasi asal Tiongkok juga mencengkeram dunia. Mengacu daftar 100 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia versi PricewaterhouseCoopers (PwC) per 31 Maret 2017, China mengirimkan 10 wakilnya. Bahkan, dua wakil Tiongkok masuk 15 besar perusahaan raksasa dunia. Tencent Holdings Ltd menduduki urutan ke-11 dengan kapitalisasi US$ 272 miliar. Adapun Alibaba Group Holding menduduki urutan ke-12 dengan kapitalisasi US$ 269 triliun. Sedangkan lima besar perusahaan raksasa dunia masih dikuasai korporasi asal Amerika Serikat. Kelima perusahaan itu adalah Apple Inc, Alphabet Inc, Microsoft Corp, Amazon.Com Inc dan Berkshire Hathaway Inc. Sejatinya, bursa saham Tiongkok agak tertutup dibandingkan bursa saham global lainnya, seperti bursa Korea Selatan dan Jepang. Tak heran, pergerakan pasar saham Tiongkok kerap cenderung anomali dan berlawanan dengan pasar saham global. Sebagai contoh, indeks Shanghai sempat melaju kencang selama periode November 2014 hingga Juni 2015. Indeks bursa Shanghai
bullish dan menyentuh
all time high pada 12 Juni 2015. Di periode yang sama, pergerakan indeks DJIA dan indeks FTSE 100 (Inggris) malah lebih moderat. Pergerakan bursa China nyeleneh, tidak pernah in line dengan pergerakan bursa saham global, ungkap
Head of LOTS Services Lotus Andalan Sekuritas, Krishna Dwi Setiawan, Kamis (15/2) lalu. Dalam dua tahun terakhir, menurut dia, indeks Shanghai memang bergerak searah dengan bursa saham global. Hal ini mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok mulai menguat lagi, seiring pertumbuhan ekonomi negara lainnya. Pada tahun lalu, ekonomi Tiongkok tumbuh 6,9%. Ini adalah pertumbuhan terbesar China sejak 2015. Pergerakan pasar saham Tiongkok yang berbeda turut dipengaruhi peran investor. Dalam catatan Krishna, bursa saham Tiongkok hingga kini cukup terproteksi. Asing tidak bermain di sana. Kalau asing mau masuk, belinya di Hong Kong, tambah Krishna. Memang, di teritorial Tiongkok, ada pula bursa saham Hong Kong (HKEX). Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebutkan bursa Hong Kong ini merupakan hub finansial ke Tiongkok. Sebab, bursa saham Hong Kong lebih terbuka. Kekuatan Tiongkok David menilai, Tiongkok punya alasan tersendiri untuk mempertahankan bursanya agar tetap tertutup. Cadangan devisa mereka besar, mereka punya surplus anggaran. Jadi belum terlalu butuh untuk terbuka, ujar dia. Dengan demikian, pengaruh bursa Tiongkok masih sangat minim terhadap bursa saham global, termasuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam konteks Indonesia, pasar saham AS, Eropa dan Jepang justru lebih berpengaruh. Kalau pun pergerakan bursa Tiongkok ada pengaruh ke IHSG, sifatnya hanya sementara, tambah Krishna. Meski demikian, para pelaku pasar modal di Indonesia bisa mencontoh kekuatan investor domestik di Tiongkok. Regulasi yang cukup protektif memungkinkan investor domestik mengambil peran di bursa saham Negeri Tembok Raksasa itu.
Saat ini, Krishna mencatat, investor domestik Indonesia sudah mulai mengambil peran penting di pasar modal. Pada masa mendatang, Indonesia sebaiknya memperkuat peran investor domestik, dengan catatan, tetap mempertahankan agar bursa saham lokal terbuka untuk asing. Sejak program amnesti pajak, pergerakan investor domestik sudah mulai bisa mengimbangi asing, ungkap Krishna. Soal kapitalisasi pasar dan imbal hasil (
return), Krishna menilai bursa saham Tiongkok masih berada di atas bursa saham Indonesia. Pada tahun ini, Krishna memprediksi pasar saham Tiongkok maupun Indonesia bisa sama-sama menguat. Faktor pendorongnya pun beriringan, yakni antisipasi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi lebih baik pada 2018. Krishna memperkirakan IHSG pada tahun ini tumbuh 8,5% dan bertengger di level 6.900. Sedangkan bursa saham Tiongkok diprediksi bisa menguat lebih tinggi, yakni berkisar 10%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati