KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru disahkan DPR, hasil revisi Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sudah mendapat gugatan. Partai Buruh beserta sejumlah serikat buruh menyatakan akan mengajukan judicial review UU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang PPP. Seperti diketahui, revisi UU PPP yang baru saja disetujui dalam rapat paripurna DPR pada Selasa 24 Mei 2022. Sejumlah poin masuk dalam revisi UU PPP. Diantaranya perubahan pasal 64 mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus. Lalu, perubahan pasal 72 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun belum disampaikan kepada presiden. Serta perubahan pasal 73 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun telah disampaikan kepada presiden.
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya menolak revisi UU PPP karena dua alasan.
Pertama, dari sisi pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang. Menurut informasi yang aa terima, revisi UU PPP hanya dibahas selama 10 hari di Baleg DPR RI. Padahal UU PPP adalah ruh untuk membuat sebuah produk undang-undang (syarat formil) di Indonesia sesuai perintah UUD 1945.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Masih Dibayangi Ketidakpastian Kedua, dari sisi revisi UU PPP tersebut, Partai buruh dan elemen serikat pekerja ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik. Khususnya bagi buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, lingkungan hidup, dan HAM. Ketiga hal tersebut yakni revisi UU PPP hanya sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang. Padahal omnibus law UU Cipta Kerja ini ditolak seluruh kalangan masyarakat termasuk buruh. Kemudian, dalam proses pembentukan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan. Selanjutnya yang lebih berbahaya adalah dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah. Oleh karena itu, pihaknya berencana mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi UU PPP. Rencananya gugatan yang akan didaftarkan berupa uji formil dan uji materiil revisi UU PPP. “Kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Mei 2022 tentang revisi UU PPP tersebut,” ujar Iqbal saat dikonfirmasi, Kamis (26/5). Selain itu, Iqbal mengusulkan agar revisi UU Cipta Kerja dilakukan berupa perubahan menjadi omnibus law tentang investasi dengan menghapus pasal/pengaturan yang merugikan masyarakat. “Menurut kami UU Cipta Kerja di drop, diubah membuat omnibuslaw yang baru yaitu tentang UU investasi tanpa ada klaster ketenagakerjaan dan klaster lainnya yang merugikan masyarakat sipil antara lain lingkungan hidup, HAM, ranah petani dan lainnya,” ucap Iqbal. Iqbal mengatakan, Partai Buruh bersama elemen serikat buruh akan melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 8 Juni 2022 yang melibatkan puluhan ribu buruh di DPR RI. Secara bersamaan aksi dilakukan serempak di puluhan kota industri lainnya yang dipusatkan di kantor gubernur. Iqbal mengajak seluruh komponen buruh dan kelas pekerja lainnya untuk melakukan aksi besar-besaran 3 hari berturut-turut untuk menolak dibahasnya kembali omnibus law UU Cipta kerja yang tanggal aksinya akan ditentukan kemudian.
Baca Juga: UU PPP Disahkan, Pengusaha Desak Pemerintah dan DPR Revisi UU Cipta Kerja Sebagai informasi, berikut sejumlah revisi UU PPP Perubahan penjelasan pasal 5 huruf g :
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk Pemantauan dan Peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan). Perubahan pasal 64 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b)
(1a) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan metode omnibus (1b) Metode omnibus sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) merupakan metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan: a. memuat materi muatan baru; b. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang- undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau c. mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang- undangan untuk mencapai tujuan tertentu. Perubahan pasal 72 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta ketentuan ayat (2) Pasal 72 diubah sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 72 (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (1a) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. (1b) Hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan wakil dari Pemerintah yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. (2) Perbaikan dan penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (1b) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73 (1) Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis penulisan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. (2) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 atau Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. (3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (4) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Baca Juga: Tok! DPR Sahkan Revisi UU PPP, UU Cipta Kerja Punya Dasar Hukum Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat