KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta penyusunan peraturan pengupahan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review UU Cipta Kerja. Presiden KSPI Said Iqbal menilai, penyusunan peraturan menteri ketenagakerjaan (Permenaker) tentang pengupahan tidak memberikan ruang diskusi yang substansial bagi perwakilan buruh. Pertemuan melalui Zoom yang dilakukan selama ini, menurutnya, hanya memberikan kesempatan buruh untuk mendengarkan tanpa ruang negosiasi.
"Proses penyusunan kebijakan ketenagakerjaan harus melibatkan dialog substansial antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh sesuai prinsip tripartit yang ideal,” ujar Iqbal dalam keterangan pers, Selasa (5/11).
Baca Juga: Respons Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja, 5 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional KSPI juga mengkritisi formula perhitungan upah minimum yang disebut menggunakan batas atas dan batas bawah dengan indeks tertentu. Formula ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas. "Kami menolak penggunaan formula alpha atau indeks tertentu dalam perhitungan upah minimum yang tidak memiliki dasar undang-undang,” kata Iqbal. KSPI meminta agar Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terlibat dalam pembuatan formula upah yang dapat mengurangi daya beli buruh. KSPI mengkritisi perubahan metode penentuan kebutuhan hidup layak (KHL) yang kini menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) oleh BPS. Iqbal menegaskan bahwa metode SBH seharusnya tidak menggantikan KHL dalam menentukan upah minimum. Karena SBH lebih relevan untuk kebutuhan perusahaan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh.
Baca Juga: Kemnaker dan Dewan Pengupahan Segera Bahas Formulasi Penetapan Upah Minimum Iqbal juga menekankan pentingnya upah minimum sektoral yang lebih tinggi daripada upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. “Penetapan upah sektoral harus dilakukan di tingkat daerah oleh Dewan Pengupahan Daerah, bukan di pusat, agar mencerminkan kondisi sektor-sektor spesifik di setiap wilayah,” jelas Iqbal. Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah melakukan diskusi dengan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional. Kemnaker disebut telah menampung aspirasi-aspirasi dari serikat pekerja dan asosiasi pengusaha dalam forum tersebut dan telah menyampaikannya kepada presiden. “Ini yang sedang kami coba rumuskan dan kami punya batas waktu sampai tanggal 7 November untuk keluar dengan sebuah apakah itu surat edaran ataupun itu peraturan Menteri Tenaga Kerja terkait tentang penetapan upah minimum yang itu nanti akan kami sampaikan kepada para gubernur se-Indonesia,” jelas Yassierli di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/11) petang.
Baca Juga: Politikus PDI-P Yasonna Laoly Minta Pemerintah Tak Lagi Nitip UU Kejar Tayang Yassierli menyebut hal paling krusial untuk segera ditindaklanjuti adalah penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025. Hal ini dikarenakan penetapan UM provinsi tahun 2025 paling lambat tanggal 21 November 2024. Sementara untuk penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota harus dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2024. Adapun beberapa poin masukan dari serikat pekerja/serikat buruh terkait penetapan UM 2025. Yaitu memberikan keleluasan kepada Gubernur dan Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) untuk berkolaborasi terkait penetapan UM Provinsi, UM Kabupaten/Kota, dan UM Sektoral dengan berbasis Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Buruh juga memberi masukan agar penetapan UM 2025 tidak menggunakan PP 51/2023. Serta menggunakan survei KHL dari unsur Depekab/Depekot dengan memperpanjang waktu penetapan UM sampai dengan tanggal 10 Desember 2024. Sementara dari unsur pengusaha mengusulkan beberapa hal. Di antaranya tetap memberlakukan PP 51/2023 sebagai kepastian penetapan UM 2025, serta menghindarkan dari politisasi penetapan UM. Lalu, KHL yang digunakan adalah KHL yang berdasarkan data BPS. Serta UM Sektoral tidak ditetapkan terlebih dahulu untuk sektor padat karya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati