KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Para insinyur Airbus telah mengembangkan model pesawat pertama dengan ujung sayap berengsel yang dapat “mengepak“ ketika penerbangan berlangsung. Terobosan ini berpotensi merevolusi desain sayap pesawat di masa depan. Airbus mengembangkan sayap yang disebut semi-aerolastic ini dengan menggali inspirasi dari desain alam. Inovasi ini bertujuan untuk mengurangi bobot sayap serta mengatasi efek turbulensi dan hembusan angin pada pesawat. Model pesawat untuk uji coba teknologi tersebut disebut AlbatrossOne. Model pesawat ini dikendalikan dari jarak jauh lewat
remote control dan telah melakukan penerbangan perdananya untuk menguji konsep sayap tersebut. Selanjutnya, tim pengembangan akan melakukan pengujian lebih jauh sebelum maju ke tahap berikutnya.
“Sebelumnya, sayap pesawat berengsel baru ditemukan pada pesawat militer, yakni untuk menghemat ruangan ketika harus diangkut dalam kapal induk. AlbatrossOne adalah model pesawat pertama yang menguji-coba penggunaan ujung sayap berengsel saat terbang untuk meringankan efek turbulensi dan hembusan angin,“ kata insinyur Airbus, Tom Wilson, di Filton, Bristol Utara, Inggris. “Kami mengambil inspirasi dari alam. Burung albatros yang berhabitat di laut akan mengunci sayapnya di bagian bahu ketika harus terbang jarak jauh, dan membuka kuncian tersebut ketika angin berhembus atau dirinya harus bermanuver,” sambung Wilson. “Model pesawat AlbatrossOne akan mengkaji kegunaan sayap pesawat berengsel yang dengan leluasa bisa beradaptasi terhadap turbulensi secara otomatis saat terbang. Teknologi ini akan dapat meringankan beban di pangkal sayap, dan mengurangi kebutuhan akan wing box yang berat,” sambungnya. Airbus
Executive Vice President Engineering Jean Brice Dumont menyampaikan bahwa AlbatrossOne menunjukkan “bagaimana alam dapat menjadi sumber inspirasi.” “Ketika ada hembusan angin atau turbulensi, sayap pesawat konvensional akan membebani badan pesawat. Oleh karena itu, pangkal sayap perlu diperkuat. Penguatan ini akan menambah beban keseluruhan pesawat,“ ujar Dumont, dalam siaran pers, Sabtu (6/7). “Sayap berengsel yang dapat beradaptasi terhadap hembusan angin akan memungkinkan kami untuk membuat sayap yang lebih ringan dan panjang. Semakin panjang sayap pesawat, maka semakin sedikit hambatan untuk terbang secara optimal. Hal ini berpotensi meningkatkan efisiensi bahan bakar,” ujarnya.
AlbatrossOne, yang dikembangkan insinyur Airbus di Filton, menyelesaikan uji terbang perdananya pada bulan Februari setelah menjalani program pengembangan selama 20 bulan. Menurut Dumont, AlbatrossOne adalah “pesawat pertama yang dibuat Filton sejak Concorde“. AlbatrossOne terbuat dari bahan serat karbon dan polimer yang diperkuat dengan serat kaca serta komponen lapisan tambahan. Salah satu insinyur Filton, James Kirk, mengatakan bahwa penerbangan perdana AlbatrossOne bertujuan untuk menguji stabilitas pesawat tersebut dalam keadaan engsel sayap terkunci dan ketika kuncinya dibuka. “Langkah selanjutnya adalah untuk melakukan pengujian lebih lanjut terhadap penggabungan mode terkunci dan tak terkunci, agar keduanya dapat dilakukan saat terbang. Kemudian, akan dipelajari pula transisi antara kedua mode tersebut,” jelasnya. Tim pengembang telah mempresentasikan hasil riset mereka dalam konferensi International Forum on Aeroelasticity and Structural Dynamics di Amerika Serikat pada awal Juni lalu.
Editor: Azis Husaini