Butuh amunisi jangka pendek hadapi tekanan eksternal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi Indonesia kembali menghadapi tantangan berat. Keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) menaikkan lagi Fed Fun Rate (the Fed) ke level 2% serta kian panasnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China akan menghantui ekonomi kita.

Perang dagang berpotensi membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin melebar, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) akan bertambah. Tak pelak, ini akan membuat tekanan ke mata uang Garuda semakin berat.

Bank Indonesia (BI) mengaku siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptivefront loading, dan ahead the curve dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 27–28 Juni 2018.


Bahkan, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah mengirim sinyal dengan kebijakan lanjutan, yakni bisa berupa kenaikan suku bunga yang disertai relaksasi kebijakan Loan to Value Ratio (LTV) sektor perumahan. Ini bisa jadi langkah akomodatif mendorong pertumbuhan konomi. "Kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi intensif tetap dilanjutkan," ujarPerry dalam pernyataan resmi, Selasa (19/6).

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menambahkan, BI telah melakukan kalkulasi penguatan dollar AS terhadap mata uang negara lain, termasuk rupiah hingga akhir tahun ini. Kalkulasi dilakukan dengan memperhitungkan membaiknya ekonomi AS, isu trade war, dan geopolitik. "Termasuk potensi Fed Fund Rate naik tiga hingga empat kali di 2018," kata dia.

Dari hitungan itu, menurut Dody, yang terpenting menjaga nilai tukar rupiah stabil. "Andai melemah, terjadi secara wajar, tidak  overshooting jauh dari nilai fundamentalnya," tandas dia.

Peneliti Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kenaikan suku bunga acuan bunga acuan BI 25 bps Juli atau Agustus bisa jadi solusi temporer menstabilkan rupiah. Konsekuensinya cadangan devisa kembali tergerus.

Prediksi Bhima, cadangan devisa bisa tergerus hingga US$ 3 miliar–US$ 4 miliar hingga akhir Agustus 2018.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang, efek perang dagang baru akan berdampak di neraca perdagangan di tahun depan. Tapi, pemerintah perlu mengambil langkah. Yakni dengan melakukan inovasi tujuan ekspor serta optimalisasi kerja sama perdagangan, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Upaya menarik investasi langsung juga penting untuk memperbaiki neraca dagang. Tapi, langkah ini butuh waktu panjang. Jangka pendek, butuh amunisi lebih lugas. Misalnya, sekuritisasi aset BUMN ke investor untuk menarik dana investor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto