Butuh dana sekitar US$ 2,5 miliar untuk restorasi 2,4 juta ha gambut



KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Badan Restorasi Gambut (BRG) tengah mengembangkan mekanisme pendanaan inovatif untuk merestorasi lahan gambut yang ditargetkan mencapai 2,4 juta hektare (ha) di seluruh Indonesia pada 2020.

Salah satu mekanisme pendanaan inovatif itu adalah pencampuran antara obligasi gambut dan investasi swasta. Sebab dibutuhkan dana sekitar US$ 2,5 miliar untuk restorasi 2,4 juta ha gambut

Alue Dohong, Deputi Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan BRG mengatakan untuk dapat merestorasi gambut seluas 2,4 juta ha di 2020 dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk itu, pihaknya mengembangkan mekanisme pendanaan inovatif untuk melibatkan swasta.


Pasalnya dari total target restorasi gambut 2020 tersebut, sebanyak 1,4 juta ha merupakan konsesi swasta dan sisanya di bawah yuridiksi pemeirntah.

Ia melanjutkan, salah satu mekanisme pendanaan inovatif yang sedang dirancang adalah dengan menerbitkan obligasi gambut. Melalui dana obligasi gambut, BRG mengundang publik dan swasta untuk membuat investasi dengan tidak melupakan orientasi profit.

"Kami berusaha mendorong agar investasi dari obligasi ini bisa menutup 20% dari kebutuhannya. Kami sadar sektor swasta menekankan komoditas berkelanjutan dan profit, jadi harus ada insentif lain seperti karbon. Ini gagasan di balik obligasi gambut,” ujarnya dalam konferensi International Conference Oil Palm and Environment (ICOPE) 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (27/4).

Sementara itu, Agus Sari, CEO Landscape Indonesia PT Bentang Alam Indonesia, menambahkan program restorasi 2,4 juta ha lahan gambut diperkirakan membutuhkan pendanaan hingga US$ 2,5 miliar.

“Landscape Indonesia berupaya menjembatani dan membantu BRG dalam investasi ini. Dana investasi gambut untuk obligasi. Sehingga kita memiliki dana untuk me-leverage investasi swasta. Keinginannya utamanya adalah restorasi gambut bisa diinvestasikan,” paparnya.

Dengan melihat kebutuhan pendanaan yang cukup besar, lanjut dia, diperlukan upaya untuk menarik investasi asing. “Kami harus punya dana leverage yang menjamin risiko. Realokasi risiko yang tidak ingin diambil dari mekanisme investasi ini. Jadi ini campuran, antara gabungan obligasi dan investasi swasta,” jelasnya.

Dalam standar seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil adalah asosiasi (RSPO) menurut dia, terdapat peluang untuk melakukan investasi itu. Dalam RSPO, perusahaan dilarang melakukan deforestasi sejak 2005.

Perusahaan yang masih melakukan deforestasi sejak 2005, ada liabilitas untuk merestorasi di daerah lain. "Ini peluang. Perusahaan sawit dan liabilitasnya bisa mendanai restorasi gambut,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto