KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan sejumlah strategi untuk memacu pengembangan energi terbarukan di Tanah Air. Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim, PLN, Anindita Satria Surya memaparkan, PLN terus menerapkan inisiatif transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, diperlukan peningkatan kapabilitas internal dan teknologi yang didukung oleh inovasi, kebijakan dan keuangan.
Anindita memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai NZE pada tahun 2060 sekitar US$ 700 miliar.
Baca Juga: Genjot Ekspansi, Bukit Asam (PTBA) Patok Capex Rp 6,4 Triliun Selain itu, Anindita menegaskan, pelaksanaan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi strategi peningkatan bauran energi, khususnya energi surya dalam sistem kelistrikan. “Terdapat beberapa strategi PLN untuk melakukan integrasi energi terbarukan, di antaranya dalam jangka pendek mencapai RUPTL (2021-2030) dengan sekitar 4,7 GW atau 22% berasal dari PLTS,” ujar Anindita dalam webinar Kamis (8/3). Dalam pemaparannya, energi terbarukan lainnya yang akan dikembangkan untuk mencapai RUPTL di antaranya adalah PLTA (44%) dan PLTP (16%). Selain itu, pihaknya akan melakukan, dedieselisasi, pensiun dini batubara, co-firing biomassa. Kemudian, dalam jangka panjang untuk mencapai NZE (2031-2060), langkah yang akan dilakukan di antaranya mendorong penyimpanan listrik berbasis baterai dan interkoneksi, serta co-firing hidrogen. Di sisi pengembangan teknologi dan ekosistem, PLN akan berfokus untuk di antaranya PLTS, dan kendaraan listrik.
Baca Juga: PLN Mengajukan Izin Menjadi Badan Usaha Niaga Gas dan BBM, Stop Beli Dari Pertamina? “Sebagai gambaran, di awal kita membangun sistem yang kuat yakni pembangkit baseload, membangun transmisi yang kuat serta dibarengi dengan penguatan penggunaan energi terbarukan, termasuk PLTS. Di akhir periode 2035, PLTS sebagian besar sudah masuk ke sistem kita,” ujarnya. Anindita menekankan, PLTS bisa menjadi salah satu solusi untuk menambah bauran energi, namun harus dilihat pula kesiapan infrastruktur, terutama baterai untuk mengurangi sifat intermiten. Misalnya saja, belum ada baterai untuk mendukung adanya PLTS di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya PLTS atap, PLN juga berupaya untuk memanfaatkan potensi PLTS terapung. Sebagai bagian dari dukungan pelaksanaan kegiatan G20 Presidensi Indonesia, terdapat 100 kWp PLTS terapung yang telah dibangun di Waduk Muara, Nusa Dua, Bali. Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Widya Adi Nugroho mengatakan, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun hingga 2022 baru mencapai sekitar 12,3%.
Baca Juga: Prospek Diperkirakan Cerah, Cek Rekomendasi Saham Kawasan Industri! Ia mengatakan pemanfaatan pembangkit listrik energi baru terbarukan diutamakan sesuai perencanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). “Berdasarkan RUPTL 2021-2030, energi surya akan bertambah 4,6 GW di 2030. Surya akan menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia mencapai 461 GW pada 2060,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Widya juga melihat saat ini tren harga PLTS semakin turun dan kompetitif. Begitu juga komponen pendukungnya seperti baterai sehingga peluang pengembangannya semakin terbuka. Namun demikian, terdapat tantangan pengembangan PLTS, salah satunya ruangan pembangkitan listrik masih penuh sehingga memerlukan partisipasi masyarakat sebagai konsumen dan produsen untuk memanfaatkan energi terbarukan, melalui energi surya. Selain itu, kondisi intermitensi yang perlu dijaga oleh sistem, baik itu dengan pembangkit cadangan yang bisa mengkompensasi PLTS serta juga berkaitan dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli