Butuh izin Presiden untuk panggil Setnov ke KPK?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setya Novanto tidak akan menghadiri panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika tidak ada izin tertulis dari presiden. Sikap tersebut diterima oleh pihak KPK, pagi ini sekitar pukul 08.00 WIB, hari ini (6/11).

Bagian persuratan KPK menerima surat dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI terkait dengan pemanggilan Ketua DPR-RI, Setya Novanto sebagai saksi untuk tersangka ASS (Anang Sugiana Sudihardjo) dalam kasus E-KTP.

Surat tertanggal 6 November 2017 yang ditandatangani pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR RI tersebut menyampaikan 5 poin. "Pada intinya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Senin (6/11).


Nama Novanto memang kerap disebut oleh para saksi persidangan kasus korupsi KTP-elektronik (e-KTP). Sebelum program yang berlaku secara nasional ini dibahas di tingkat DPR RI, bahkan Novanto telah menyampaikan pada sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) agar program ini dikawal.

Perintah untuk mengawal ini disampaikan Novanto kepada Irman, Sugiharto dan Diah Anggraini di hotel Gran Melia Senayan. Namun ketika dipanggil saksi di persidangan, hanya Novanto saja yang membantah pernah ada pertemuan tersebut.

Sementara persoalan izin presiden ini sebenarnya sudah menjadi polemik pada akhir September 2015 yang lalu. Ketika itu Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan uji materi UU MD3 yang pada intinya mengamanatkan agar pemeriksaan terhadap anggota DPR RI mesti mendapat persetujuan presiden.

Lebih rinciannya dalam putusan tersebut disebutkan bahwa frasa  persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan pasal 245 ayat 1 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai persetujuan tertulis dari Presiden. Penyidikan serta pemanggilan harus melalui persetujuan tertulis dari Presiden.

Namun selama ini, putusan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPR RI yang berurusan dengan korupsi. Alasannya, undang-undang tentang tindak pidana korupsi tergolong sebagai beleid khusus alias lex specialis yang tidak tercakup dalam amar putusan MK tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini