Butuh Perppu bila BPJS Ketenagakerjaan molor



JAKARTA. Implementasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang sedianya akan berlaku Juli 2015 terancam molor. Pasalnya, hingga kini pemerintah belum juga meneken Peraturan Pemerintah (PP) Program Jaminan Pensiun.

Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Wahyu Widodo mengatakan, bila implementasi BPJS Ketenagakerjaan mundur dari jadwal yang telah ditentukan yakni 1 Juli 2015, maka pemerintah harus membuat payung hukum baru.

Pasalnya, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Ketenagakerjaan harus beroperasi atau menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua dan program jaminan kematian paling lambat 1 Juli 2015.


Menurut Wahyu, payung hukum baru yang harus dibentuk pemerintah bisa berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). "Kalau sampai tidak selesai karena ada penundaan, maka harus dibuat Perppu. Ini dilakukan untuk menghindari gugatan hukum," jelasnya, Kamis (7/5).

Hingga kini Peraturan Pemerintah (PP) Program Jaminan Pensiun belum juga diteken. Bahkan, hingga kini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Pensiun masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebelumnya, Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bilang, jika sampai Mei 2015 PP belum rampung, maka program pensiun tak bisa diimplementasikan. "Kemungkinan masih ada pihak yang menahan RPP tersebut untuk diajukan ke Sekretariat Negara," kata Chazali beberapa waktu lalu.

Chazali menduga, belum ditekennya PP ini lantaran masih ada penolakan dari sejumlah pihak terkait besaran iuran program jaminan pensiun yang telah ditetapkan 8% dari gaji pegawai. Perinciannya, sebesar 5% dibayar pemberi kerja dan 3% menjadi tanggungan pekerja.

Setelah iuran jaminan pensiun ini disetujui, pemerintah akan menyesuaikan lagi (readjust) batas usia pekerja saat menerima manfaat pertama serta besaran iuran jaminan pensiun setiap empat tahun. "Kemungkinan iuran akan ada kenaikan 0,3% dari iuran awal, disesuaikan setiap empat tahun sekali, sampai 65 tahun ke depan," kata Wahyu

Saat ini, besaran iuran jaminan pensiun 8% itu baru disetujui Kementerian ketenagakerjaan, DJSN, dan BPJS ketenagakerjaan. Sementara Kementerian Keuangan belum sepakat dengan besaran iuran bagi peserta program jaminan pensiun. Kabar yang diterima KONTAN, Kementerian Keuangan masih keberatan dan ingin tarifnya 4% saja.

Dibahas di Menko

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri bilang meski masih ada pihak yang belum setuju, tapi hingga kini pemerintah masih menggunakan opsi iuran 8% untuk jaminan pensiun.

Menurut Wahyu, hingga kini belum ada kejelasan sikap dari Kementerian Keuangan apakah menolak atau menyetujui besaran iuran program jaminan pensiun.

Sayangnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro enggan berkomentar ketika dikonfirmasi terkait persetujuan soal besaran iuran program jaminan pensiun.

Nah, untuk mencari titik temu terkait hal ini, menurut Wahyu hari ini (Jumat, 8/5) beberapa kementerian/lembaga yang terkait dengan BPJS Ketenagakerjaan seperti Kementerian Ketenagakerjaan, DJSN, BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan akan menggelar rapat di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Harapannya, di rapat ini semua pihak menyetujui besaran iuran jaminan pensiun lalu ditandatangani Presiden Joko Widodo.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie