Buyback gagal angkat harga saham, mengapa?



JAKARTA. Aksi jual yang melanda Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pertengahan tahun ini cukup membuat otoritas bursa ketar-ketir.

Bayangkan, berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, pada awal tahun (2/1), posisi indeks berada di level 4.346,4. Kemudian, indeks sempat melambung hingga ke rekor tertingginya sepanjang masa di level 5.214,9 pada 20 Mei lalu. Namun, sentimen negatif yang mengelilingi IHSG secara bertubi-tubi, mulai dari faktor domestik hingga eksternal, menyebabkan IHSG tersungkur ke level 3.967,8 pada 27 Agustus lalu.

Jika dihitung dari posisi rekor, IHSG sudah anjlok 23,9%! Artinya, indeks saham tanah air sudah masuk ke fase bearish karena penurunannya sudah melampaui 20% dari level tertingginya. Nah, posisi IHSG per 30 Oktober berada di level 4.574,8. Posisi ini naik 5,25% dibanding posisi awal tahun lalu.


Banyak faktor yang menyebabkan pergerakan IHSG volatil. Dari dalam negeri misalnya, pelaku pasar mencemaskan defisit neraca perdagangan Indonesia yang kian membengkak. Pada Juli lalu, defisit neraca perdagangan mencapai rekor tertingginya. Menurut penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan di bulan Juli mencapai US$ 2,31 miliar, dengan nilai ekspor di periode tersebut sebesar US$ 15,11 miliar dan nilai impor US$ 17,42 miliar.

Kondisi ini diperparah dengan adanya rencana the Federal Reserve untuk memangkas nilai stimulusnya yang sedianya akan dilakukan September. Menghadapi hal tersebut, banyak investor asing yang tidak mau mengambil risiko dengan menanamkan dananya di emerging market, tak terkecuali Indonesia. Hal ini pula yang berbuntut pada pelemahan rupiah hingga sempat menembus level 11.649 pada 5 September lalu.

Otoritas bursa bergerak cepat

Sebenarnya, otoritas bursa sudah memiliki firasat akan kejatuhan indeks. Hal ini terlihat dari adanya pertimbangan untuk merilis peraturan untuk melakukan buyback saham, baik obligasi maupun Surat Berharga Negara (SBN), tanpa dilakukannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dulu.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa di Bursa Efek Indonesia, Samsul Hidayat bilang, langkah tersebut pernah dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ketika krisis 2008 lalu. Hal ini diamini oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida. Nurhaida mengatakan, buyback saham tanpa RUPS pernah diambil Bapepam-LK ketika krisis 2008 lalu. Saat itu, IHSG terpukul hampir 50%.

Meski sempat mempertimbangkan untuk tidak merilis kebijakan serupa dengan alasan penurunan indeks belum mencapai angka 50%, namun, akhirnya, OJK merespon fluktuasi pasar saham  dengan mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 02/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, aturan tersebut untuk mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan."Selain itu juga untuk memberikan kemudahan bagi emiten atau perusahaan publik dalam melakukan pembelian kembali sahamnya," kata Muliaman, Jakarta, Jumat (23/8).

Isi Peraturan OJK Nomor 02/POJK.04/2013:

- Beleid tersebut menyebutkan bahwa kondisi pasar yang dianggap berfluktuasi secara signifikan apabila indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara kumulatif turun 15% atau lebih selama 3 hari bursa berturut-turut. OJK juga bisa menetapkan kondisi lain yang dianggap berfluktuasi secara signifikan.

- Dalam kondisi tersebut, perusahaan dapat membeli kembali sahamnya sampai batas maksimal 20% dari modal disetor tanpa persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Selain itu, perusahaan baru dapat melakukan pembelian kembali saham tersebut setelah menyampaikan keterbukaan informasi kepada OJK dan BEI paling lambat 7 hari bursa setelah terjadinya kondisi pasar sebagaimana dimaksud di atas.

- Pembelian kembali tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan setelah penyampaian keterbukaan informasi dimaksud.

- Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan, antara lain dengan cara dijual baik di bursa efek maupun di luar bursa efek. Pengalihan ini harus memenuhi ketentuan, diantaranya dilaksanakan setelah 30 hari sejak pembelian kembali saham perusahaan dilaksanakan seluruhnya atau setelah berakhirnya masa pembelian kembali. Serta, harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari harga rata-rata pembelian kembali saham Perusahaan.

- Apabila saham hasil pembelian kembali dijual melalui Bursa Efek, maka harus memenuhi sejumlah aturan. Antara lain, transaksi jual hanya dapat dilaksanakan melalui satu Anggota Bursa, transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 menit sejak pembukaan sampai dengan 30 menit sebelum penutupan perdagangan; serta jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari paling banyak sebesar 20%  dari jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh perusahaan.

- Emiten tetap diwajibkan mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman serta dokumen pendukungnya kepada OJK paling lambat 14 hari sebelum dilaksanakannya penjualan saham hasil pembelian kembali.

Mendapat respon positif emiten, minim realisasi

Langkah yang diambil OJK demi menghadapi fluktuasi pasar ini ternyata memperoleh dukungan dari para emiten. Terbukti sejumlah emiten menyampaikan rencana buybacknya kepada OJK.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada 21 perusahaan publik yang mengumumkan rencana buyback saham sejak Agustus 2013.

  1. PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES)
  2. PT Intiland Development Tbk (DILD)
  3. PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN)
  4. PT Panin Insurance Tbk (PNIN)
  5. PT Semen Baturaja Tbk (SMBR)
  6. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS)
  7. PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL)
  8. PT Global Mediacom Tbk (BMTR)
  9. PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN)
  10. PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX)
  11. PT Surya Semesta Internusa Tbk
  12. PT Wijaya Karya Tbk (WIKA)
  13. PT Perdana Gapura Prima Tbk (GPRA)
  14. PT MNC Investama Tbk (BHIT)
  15. PT Dyandra Media Internasional Tbk (DYAN)
  16. PT Jaya Real Property Tbk (JRPT)
  17. PT Electronic City Indonesia Tbk
  18. PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP)
  19. PT Ristia Bintang Mahkotasejati Tbk (RMBS)
  20. PT Bukit Asam Tbk (PTBA)
  21. PT Budi Starch & Sweetener Tbk (BUDI)
Namun, realisasi pembelian kembali alias saham oleh para emiten masih sangat minim. Bahkan, beberapa emiten ada yang belum melaksanakan buyback saham. Padahal, beberapa emiten mengaku sudah menganggarkan dana untuk buyback saham. Para emiten beralasan, harga saham belum jatuh seperti target harga buyback sehingga tak lagi membeli kembali saham.

Buyback untuk dongkrak kinerja saham?

Sejak awal diumumkannya aksi buyback tanpa melalui RUPS, hingga hari ini, paling tidak ada lima emiten yang paling rajin melakukan aksi buyback tersebut.

Kelima emiten itu adalah PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT Panin Insurance Tbk (PNIN), dan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR).

Sayang, niatan untuk mendongkrak kinerja saham emiten yang bersangkutan melalui skema buyback justru memberikan hasil yang bertolak belakang. Seperti saham DILD misalnya. Sudah beberapa kali melakukan buyback, tapi harga sahamnya merosot 2,56% ke angka Rp 380 per saham pada Jumat, 25 Oktober 2013 dibanding 17 September 2013 lalu.

Sama hal nya dengan MNCN dan PNIN yang masing-masing mencatatkan minus 1,86% dan 1,4%. MNCN menginformasikan rencana buyback pada 28 Agustus 2013. Ketika itu harga sahamnya ditutup Rp 2.675 per saham.

Tetapi, pada akhir minggu kemarin, harga saham MNCN bertengger di posisi Rp 2.635 per saham. Sementara saham PNIN pada 18 September 2013 di level Rp 710 per saham dan menjadi Rp 700 per saham pada Jumat, pekan lalu.

Lantas, apa yang menyebabkan upaya buyback yang dilakukan belum mampu kendongkrak kinerja saham-saham tersebut?

Analis MNC Securities, Reza Nugraha melihat, emiten melakukan buyback saham bukan untuk mendongkrak harga saham. Tapi, hanya untuk menjaga agar saham tak jatuh lebih dalam. "Mereka baru sedikit atau belum buyback saham karena menahan di batas tertentu saja," kata dia.

Bisa jadi pula, emiten bersangkutan melihat pergerakan harganya masih wajar sehingga belum perlu melakukan buyback saham. "Apalagi, kondisi pasar sekarang sudah kondusif," imbuh Kepala Riset Trust Securities, Reza Priyambada.

Muhammad Alfatih, analis Samuel Sekuritas mengatakan, hal ini berawal dari pengumuman kelonggaran buyback dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang pada dasarnya emiten tidak boleh melakukan buyback pada level harga teratas.

"Jadi, mereka hanya boleh entry di bawah sehingga buyback yang dilakukan hanya sebatas untuk menahan aksi jual secara besar yang bisa membuat harga turun di bawah level yang dikehendaki," jelasnya kepada KONTAN, (29/10).

Dengan aksi tersebut, lanjut Alfatih, maka setiap kali ada penjualan di bawah level tertentu itu sudah ditampung oleh pesanan buyback. Tapi sebaliknya, karena emiten tidak boleh membeli di harga yang lebih tinggi maka harga yang terjadi akibat aksi buyback ini tergantung oleh sentimen pasar.

Dengan kata lain, emiten tidak bisa mengatur harga saham, tapi pasarlah yang mengaturnya. Harga saham hanya benar-benar terpengaruh oleh fundamental dan prospek emiten serta kondisi makro ekonomi. Selama belum ada momentum yang mampu membuat pasar menjadi meriah, maka harga sahamnya akan sulit untuk terdongkrak.

"Selama enggak ada momentumnya, orang enggak ada yang mau beli. Jadi, buyback itu hanya untuk mencegah penurunan harga lebih drastis," tukasnya.

Dimintai pendapatnya secara terpisah, Ronaldi Bayu Wibowo, Head of Online Trading Sucorinvest Central Gani memberikan pandangan senada. Tujuan utama buyback bukan semata-mata untuk mendongkrak kinerja harga saham emiten, tapi justru cenderung untuk mengendalikan saham yang beredar.

"Mengendalikan dalam artian menjaga harga saham supaya tidak jatuh lebih dalam, itu salah satu fungsi buyback. Sementara fungsi lain dari buyback bisa untuk mengendalikan jumlah saham beredar yang juga bisa menggerakan market cap, dan yang paling sederhana bisa berfungsi untuk parameter perhitungan EPS di laporan keuangan," tutur Ronaldi.

Nah, untuk kasus lima emiten yang paling rajin melakukan buyback tapi harga sahamnya sulit terangkat, Ronaldi memperkirakan jika hal ini juga dipengaruhi oleh aksi korporasi yang pernah dilakukan oleh emiten yang bersangkutan.

Coba tengok DILD yang memang sudah beberapa kali melakukan aksi korporasi. Rinciannya, DILD melakukan IPO dengan melepas 12 juta saham pada 21 Agustus 1991. Semenjak periode itu hingga Juni 2013, DILD sudah melakukan tiga kali rights issue dengan total emisi sejumlah 2,27 miliar saham.

Pada Juli 2007, DILD juga sempat melakukan konversi utang ke saham atau debt to equity swap (DES) atas 2,18 miliar. Emiten properti ini juga pernah melakukan pemecahan nilai saham atau stock split dengan rasio 1:2.

Dengan semua aksi korporasi yang dilakukan itu, sejak IPO hingga hari ini ada 10,36 miliar saham DILD yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bandingkan dengan jumlah saham ketika DILD pertama kali melakukan IPO dengan hanya melepas 12 juta saham.

Lalu, lihat juga MNCN. Emiten yang bermarkas di Kebon Sirih ini melantai di BEI pada 13 Juni 2007 dengan melepas 4,12 miliar saham. Sementara hingga Juni 2013, saham MNCN yang tercatat di BEI sudah mencapai 13,96 miliar saham.

"Semakin banyak jumlah saham yang beredar, mengangkat harganya juga susah. Intinya, harga saham itu masalah supply-demand," pungkas Ronaldi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie