Cabai mahal karena cuaca ekstrem, ini saran AACI



JAKARTA. Melonjaknya harga komoditas cabai rawit di beberapa daerah belakangan ini, menimbulkan keresahan dan kekhawatiran bagi masyarakat.

Dadi Sudiana, Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) memprediksi tingginya harga cabai rawit akan berlangsung hingga Februari mendatang. Harga cabai diprediksi bisa stabil di bulan Maret. “Sekitar Maret harganya sudah bisa stabil, dengan catatan, kondisi cuacanya juga mendukung,” tuturnya.

Ia membenarkan bahwa cuaca ekstrim yang sedang melanda Indonesia jadi penyebab melonjaknya harga cabai rawit di pasaran. Pasalnya, cuaca ekstrim menyebabkan banyak petani gagal panen. Gagal panen ini sebenarnya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni manajemen tanam dan produktivitas lahan.


Manajemen tanam budidaya cabai berkaitan dengan proses perawatan setelah penyemaian benih. Salah satu contohnya adalah bagaimana memproteksi tanaman cabai dari hama dan cuaca ekstrim yang kerap menyerang. Sedangkan produktivitas lahan berkaitan dengan layak atau tidaknya lahan tertentu untuk membudidayakan cabai. Apakah lahan tersebut masih produktif atau tidak.

“Kondisi seperti ini selalu berulang tiap tahun. Harga cabai naik selalu dikaitkan dengan faktor cuaca. Hal ini menandakan bahwa teknologi bertani cabai di Indonesia harus diubah untuk mengatasi tantangan cuaca ekstrim ini,” jelasnya.

Dadi bilang sudah ada upaya bantuan dari pemerintah berupa benih, bibit pohon, dan rain shelter. Namun, ia merasa bahwa bantuan tersebut kurang berdampak maksimal dalam mengontrol produksi dan harga cabai rawit nasional.

Misalnya, bantuan 10 juta bibit tanaman cabai dari pemerintah dinilai kurang efektif karena rasio biayanya tidak seberapa dibandingkan biaya tenaga kerja dan pestisida.

“Rasio bibit dalam budidaya cabai paling sekitar 2% sampai 4% dari total biaya budidaya,” terang Dadi. Bantuan rain shelter yang dilengkapi oleh bahan plastik bening dan mampu menembus sinar UV juga dinilai kurang maksimal. Pasalnya, pemasangan rain shelter kurang pengawasan dan kontrol secara berkala, sehingga cepat rusak.

“Selama ini bantuan dari pemerintah masih kurang pengawalannya. Hanya sesekali saja dicek. Kan sayang, sudah keluar anggaran, tapi tidak maksimal. Istilahnya, kita ini hanya perbaikan terus menerus tanpa antisipasi. Padahal tanaman cabai ini harus diproteksi dari awal,” ujar Dadi. Ia khawatir, jika tahun 2017 Indonesia diterpa kemarau panjang, harga cabai akan melonjak lagi karena banyak serangan hama.

Sebagai informasi, untuk mengembangkan teknologi tanam cabai agar bisa mengatasi dampak cuaca ekstrim tidaklah murah. Hitungannya, setiap 1.000 m3, petani setidaknya harus berinvestasi sebesar Rp 40 juta. Teknologi tanam cabai ini juga butuh waktu, tidak bisa serta merta diterapkan di masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie