JAKARTA. PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) baru saja mengakuisisi perusahaan kelapa sawit PT Bumi Sawindo Permai senilai Rp 861 miliar. Tak hanya memperoleh hasil kebun kelapa sawit. PTBA juga memperoleh cadangan batubara 580 juta ton di lahan tersebut. Analis Ciptadana Securities Andre Varian memandang aksi PTBA tersebut bukanlah untuk mengakuisisi kelapa sawit, melainkan meraih cadangan batubara yang ada di sana. Pasalnya, cadangan batubara 580 juta ton setara dengan sekitar 25% dari cadangan PTBA 1,99 miliar ton. "Kami melihat ini potensi di saat harga batubara jatuh. Apalagi PTBA punya kas yang luar biasa banyak yakni sebesar Rp 3,22 triliun di semester pertama," ungkap Andre, pada KONTAN, Selasa, (27/10).
Stefanus Darmagiri, Analis Danareksa Sekuritas dalam riset 22 Oktober 2014 menulis, akuisisi Bumi Sawindo tak akan ada berdampak signifikan pada pendapatan PTBA ke depannya. Namun, langkah ini dapat membantu strategi bisnis perusahaan memperkuat persediaan batubara demi mengamankan pasokan untuk proyek powerplant PTBA di Banko, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Analis Mandiri Sekuritas, Ariyanto Kurniawan dalam riset 22 Oktober 2014 mengatakan, ini adalah kasus klasik. Adanya izin konsesi tumpang tindih antara perusahaan batubara dengan perkebunan biasanya terjadi setelah implementasi peraturan otonomi daerah. Sebelumnya, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga memiliki kasus yang sama pada 2008. Saat itu, ADRO harus membayar US$ 60 juta kepada PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) sebagai kompensasi tumpang tindih. Namun dengan akuisisi itu, PTBA dapat mengamankan cadangan batubara dari potensi penjualan ke pihak lain. Ariyanto bilang, PTBA pernah kehilangan 273 juta ton cadangan batubara pada 2012 karena adanya dispute dengan Mustika Indah Permai yang merupakan anak usaha ADRO, karena adanya area konsesi yang tumpang tindih. Bumi Sawindo memiliki 8.346 hektar (ha) dengan kapasitas produksi tandan buah segar (TBS) 45 ton per jam. Selain itu Bumi Sawindo juga didukung pembangkit listrik berkapasitas lima megawatt (MW) yang disalurkan ke pabrik. Stefanus mengasumsikan semua lahan tertanam, maka enterprise value (EV) per hektar sekitar US$ 8.600 per ha. Sedangkan, rata-rata EV per ha emiten perkebunan yakni US$ 8.936 per ha. Andre melihat, perusahaan sawit yang PTBA akuisisi memiliki kualitas tanah kelas dua atau tiga. Ini nampak dari luas lahan yang kurang dari 9.000 ha dan terletak di Sumatera Selatan. Sehingga, yield di sana pun tak terlalu bagus. Sehingga tak berefek pada kinerja PTBA.
Menurut Andre, PTBA paling diuntungkan dibanding emiten lainnya karena memasok ke PT Perusahaan Listrik Negara. Porsi penjualan domestik PTBA mencapai 50%. Sehingga Andre yakin bisa mengantongi, pertumbuhan pendapatan 11,51% di tahun ini menjadi Rp 12,5 triliun dari Rp 11,21 triliun di 2013. Sedangkan laba bersih bisa tumbuh 14,75% menjadi Rp 2,1 triliun di tahun ini. Stefanus menyarankan beli di Rp 16.000. Ariyanto menyarankan netral di Rp 12.325. Dan Andre merekomendasikan, hold di Rp 12.050. Harga PTBA naik 0,41% di Rp 12.325 Senin (27/10). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana