Cadangan devisa China anjlok, terendah dalam 4 tahun



Bursa China memang libur Imlek. Begitu juga bursa Hong Kong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan Indonesia.  Namun China tengah menjadi fokus perhatian pasar global.

Pasar global cemas menanti reaksi para investor setelah China mengumumkan cadangan devisanya berkurang US$ 99,5 miliar sepanjang Januari 2016.

Dengan pengurangan tersebut, maka cadangan devisa China turun menjadi US$ 3,23 triliun. Ini merupakan  cadangan devisa terendah China sejak 2012.


Seperti diberikan sebelumnya (baca Cadangan devisa China kian mengering), negara Tembok Besar ini tengah berjuang  menopang mata uang yuan di tengah derasnya arus keluar dana dari negara tersebut.

Di sepanjang 2015, cadangan devisa China  turun US$ 512,66 miliar menjadi US$ 3,33 triliun. Cadangan devisa negeri tembok Besar ini tergerus untuk  membiayai intervensi nilai tukar yuan.

Menurut Institute of International Finance, di sepanjang tahun lalu dana yang keluar (capital flight)  dari China mencapai US$ 700 miliar.

Januari 2016, secara mengejutkan, bank sentral the People's Bank of China (PBOC) melemahkan mata uangnya secara tajam. 

Hal ini mendorong aksi jual di pasar China, dan memicu gejolak di bursa global seiring meruyaknya kekhawatiran pasar bahwa yuan akan anjlok lebih dalam.  

Kondisi tersebut mendorong otoritas China melakukan intervensi untuk menahan pelemahan yuan.

Namun untuk menopang yuan, China tentu harus menjual dollar AS. Inilah yang membuat pasar khawatir cadangan devisa China, yang merupakan cadangan devisa terbesar di dunia, akan terkuras.

Menggunakan metodologi  IMF, Khoon Goh, Senior Foreign-Exchange Strategist ANZ, memperkirakan China membutuhkan minimal US$ 2,7 triliun dari cadangan devisanya untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange-rate) tanpa menerapkan kebijakan kontrol  devisa (capital control).

Itu artinya, dengan tingkat pengurangan devisa yang terjadi belakangan ini, ujar Goh, cadangan devisa China hanya cukup untuk intervensi selama setengah tahun lagi.

Editor: Mesti Sinaga