JAKARTA. Bank Indonesia (BI) dan Bank of Japan (BoJ) menandatangani perpanjangan kerjasama Bilateral Swap Arrangement (BSA) pada Senin (12/12) senilai US$ 22,76 miliar. Menurut Gubernur BI Agus DW Martowardojo, kesepakatan ini adalah wujud penguatan kerjasama keuangan antara kedua negara. Kerjasama ini untuk mendukung kebutuhan likuiditas potensial dan aktual, termasuk penyediaan skema pencegahan dan penanganan krisis. "Kerja sama ini juga merupakan komitmen kedua otoritas untuk menjaga stabilitas keuangan regional di tengah berlangsungnya ketidakpastian di pasar keuangan global," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Senin (12/12).
Perjanjian BSA antara BI dengan BoJ pertama kali ditandatangani pada 17 Februari 2003 dan telah beberapa kali diamandemen dan diperpanjang. Perjanjian BSA berlaku efektif 12 Desember 2016 dan berlaku tiga tahun. Menurut ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, kerjasama bilateral ini dapat dimanfaatkan ketika Indonesia berada dalam kondisi khusus, misalnya mengalami tekanan cadangan devisa. "Tidak hanya dengan Jepang, juga ada dengan Korea dan Tiongkok," katanya. Kerjasama memiliki banyak keuntungan, sebab Indonesia memiliki dana standby yang bisa digunakan bila diperlukan. Skema BSA juga memiliki risiko yang kecil. "Kerugiannya mungkin ada bila kita tidak gunakan karena ada fee yang harus tetap dibayarkan. Bank sentral harus mencadangkan uang untuk Indonesia, jadi ada cost-nya pasti. Bukan cost free," katanya. BI memang membutuhkan cadangan devisa lebih banyak untuk mendukung stabilitas pasar keuangan. Sebab bukan hanya isu kenaikan suku bunga The Fed, menurut Lana, capital outflow juga terjadi sebagai buntut terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Menurutnya, BI tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah dana keluar. Amunisi BI minim karena tidak ada UU yang melarang devisa keluar. Lana mencatat, per 3 Desember 2016, total outflow dari pasar obligasi dan saham US$ 2,3 miliar. "Yang keluar paling besar dari pasar obligasi," ujarnya.