KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peningkatan cadangan devisa (cadev) Indonesia pada Maret 2019 yang mencapai US$ 124,5 miliar ternyata belum mampu memperkuat posisi kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tak kuat melaju dan berakhir dengan penurunan. Hal ini terjadi karena faktor eksternal khususnya belum pastinya kesepakatan perang dagang antara AS dan China. Mengutip
Bloomberg, Senin (8/4), pada penutupan hari ini rupiah melemah 0,24% dari pembukaan menjadi Rp 14.167. Sedangkan IHSG melemah 0,74% menjadi Rp 6.425,7.
Berdasarkan hasil analisis ekonom Bank Permata Josua Pardede, pelemahan ini bukan sebagai respon atas peningkatan cadev. Karena justru peningkatan cadev bisa mendorong penguatan rupiah. Pelemahan rupiah dan IHSG lebih dominan karena faktor eksternal. "Kalau kita lihat dari Jumat (5/4) mata uang Asia termasuk rupiah serentak menguat terhadap dollar Amerika Serikat karena ada sentimen positif dari kesepakatan dagang antara AS dengan Tiongkok dan ditambah data AS menunjukkan peningkatan lebih dari perkiraan," jelas Josua, Senin (8/4). Pasar saat ini menunggu rincian dari kesepakatan dagang AS-Tiongkok. Presiden AS Donald Trump mengatakan butuh waktu sekitar empat minggu untuk mengumumkan hasil kesepakatan tersebut. Selama masa itu maka pasar cenderung menunggu (
wait and see). "Itu yang membuat rupiah sedikit melemah karena permintaan dollar kembali meningkat," imbuh Josua. Dari kesepakatan tersebut, pasar menyadari AS tetap mengenakan tarif impor terhadap barang-barang dari China. Namun, setidaknya ada harapan
win-win solution yang tidak memberatkan Tiongkok sehingga tidak memperdalam perlambatan ekonomi global. Selain itu, tren harga minyak dunia yang cenderung naik menjadi fokus negara importir termasuk Indonesia. Kenaikan harga minyak meskipun tak setinggi rata-rata tahun lalu juga membuat tekanan baru ke neraca migas dan transaksi berjalan. Hal ini juga menyebabkan terjadinya pelemahan rupiah. Namun Josua melihat rupiah tahun ini lebih stabil di kisaran Rp 13.900 hingga Rp 14.200. Sebab volatilitas di awal tahun ini lebih kecil dibanding tahun lalu. Serta bank sentral AS alias The Fed juga hampir memastikan akan menahan suku bunganya tahun ini. Sehingga dari sisi aliran modal tidak ada tekanan berarti. Kondisi ini bisa mendorong arus masuk di pasar keuangan. Ke depan, Josua memprediksi cadev hingga akhir tahun akan meningkat menjadi sekitar US$ 128 miliar hingga US$ 130 miliar. Peningkatan cadangan devisa ditopang berkurangnya faktor risiko global dari The Fed.
Penerbitan global bond oleh pemerintah juga diperkirakan akan mendorong masuknya dana asing di pasar keuangan domestik. Aliran masuk tersebut bisa mendorong peningkatan surplus transaksi modal dan finansial sehingga mendorong surplus neraca pembayaran. Selain itu, Josua juga memprediksi defisit transaksi berjalan alias
current account deficit (CAD) akan membaik di tahun ini. Sebab proyek infrastruktur tidak setinggi tahun lalu serta rata-rata harga minyak dunia lebih rendah. Dampaknya impor akan sedikit melandai. Sedangkan ekspor akan mengalami sedikit peningkatan karena ada kenaikan harga minyak. Dia memprediksi CAD dikisaran 2,70% - 2,75% dari produk domestik bruto (PDB). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli