Cadev kuat, BI tak pernah pakai amunisi dari negara lain untuk hadapi krisis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah dan mata uang negara lainnya masih berada dalam bayang-bayang menguatnya dollar Amerika Serikat (AS). Terbaru, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah hari ini berada di level Rp 13.943 per dollar AS.

Sebagai salah satu cara untuk menguatkan nilai tukar rupiah, selain intervensi pasar dengan cadangan devisa yang dimiliki, BI memiliki cara lain, yakni second line of defense.

Di dalamnya, BI bisa melakukan bilateral swap agreement (BSA), menerapkan bilateral currency swap agreement (BCSA), maupun multilateral currency swap dengan Chiang Mai Initiative dan flexible credit line dari International Monetary Fund (IMF).


Meski demikian, hingga kini, segala bentuk second line of defense belum pernah digunakan oleh BI. Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi mengatakan, kebutuhan akan amunisi ini dilakukan dalam situasi tertentu di mana Indonesia mengalami krisis yang amat mendalam.

“Pokoknya indikatornya krisis yang sangat dalam. Tapi, pernah tahun 2013, cadev kita sampai di bawah US$ 100 miliar, tahun 2015 juga. Itu saja kami belum pakai,” kata Doddy.

“Tapi itu kan tergantung situasi. Situasi yang mirip-mirip seperti sekarang itu contohnya, kami belum pakai,” lanjutnya.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa kegunaan second line of defense ini lebih untuk membuat confidence. “Jadi, orang tidak berani main-main karena kita punya senjata di luar cadev,” jelasnya.

Asal tahu saja, hingga akhir Maret 2018, cadev mencapai US$ 126 miliar. Ini masih mencukupi untuk pembiayaan 7,7-7,9 bulan impor.

“Meskipun sebenarnya dari cadev masih aman, tapi upaya memperkuat jaring pertahanan ini diperlukan,” kata Doddy.

Sekadar informasi, kerja sama BSA adalah pertukaran mata uang (swap) rupiah dengan dollar AS. Hal ini dilakukan oleh Indonesia dengan Jepang. BSA ini dalam waktu dekat akan diamandemen sehingga Indonesia juga bisa menarik devisa dalam yen Jepang. Total nilai  kerja sama adalah US$ 22,7 miliar dan dilakukan pertama kali tahun 2003.

Sementara, BCSA adalah transaksi tidak menggunakan dollar namun merupakan kerja sama swap mata uang lokal dengan kedua negara yang terlibat perjanjian untuk mendukung perdagangan dan investasi. Kerja sama ini dilakukan BI dengan Korea Selatan, China, dan Australia.

Dengan Korea Selatan, kerja sama BCSA ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai 10,7 triliun won atau Rp 115 triliun. Dengan China, kerja sama itu senilai 100 miliar yuan atau setara Rp 175 triliun.

Sementara, dengan Australia, perjanjian ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai AU$ 10 miliar atau Rp 100 triliun. Adapun, yang sifatnya multilateral, yakni ChiangMai initiative nilainya sebesar US$ 22,7 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto