Pengalaman membantu penelitian di Wakatobi membuat Cahyo Alkantana yakin film dokumenter laut bisa menjadi sandaran hidup. Apalagi, ia juga paham bahwa film-film dokumenter juga punya pasar di luar negeri yang sangat besar. Terbukti, karya-karyanya kini juga laris di negeri orang. Kini Cahyo dipercaya menggarap program Teroka di Kompas TV. Kegiatan bertualang di alam bebas tak hanya hobi yang menguras isi kantong. Hobi bertualang juga bisa menjadi sandaran hidup. Tak percaya? Lihatlah pengalaman Cahyo Alkantana. Dia terbilang sosok yang sukses menggabung kesenangan dan pendapatan. Melalui hobi menyelam dan membuat film dokumenter tentang kehidupan alam, Cahyo sukses mendulang rupiah. Memang Cahyo layak mendapatkan apresiasi. Dia membuktikan, berhasil menggabungkan pengalaman sebagai pengelana alam dengan ilmu di tingkat doktoral di bidang kelautan. Cahyo Alkantana bercerita, dia memang hobi bertualang sejak kecil. Apalagi saat masih aktif sebagai atlet silat di Yogyakarta. Kegemarannya tersebut terus berlanjut hingga di bangku kuliah pada tahun 1984. Ketika duduk sebagai mahasiswa jurusan arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Atmajaya, Yogyakarta, ia aktif di kegiatan pecinta alam di kampusnya. "Saya jadi Ketua Mapala Atmajaya selama lima tahun," ujar Cahyo.Perjalanan hobinya semakin cerah, ketika pada 1989 ia mendapat kesempatan menjadi pendamping tim peneliti Operation Wallacea di Kepulauan Wakatobi, baik di darat ataupun di laut. Dalam penelitian itu, pria berdarah biru itu menemukan Pulau Hoga yang kemudian dijadikan base camp bagi para peneliti hingga kini. "Saat kami ke sana, belum ada yang mengetahui keindahan kepulauan tersebut," terang Cahyo.Selama delapan tahun mendampingi tim peneliti, ia mendapatkan pengalaman yang menjadi pintu sukses baginya. Karena di situlah pria kelahiran 1965 ini berkesempatan bertemu para ahli dari bermacam ilmu, baik ahli pembuatan film dokumenter ataupun ilmuwan kelautan. Dari mereka inilah Cahyo mendalami ilmu dokumenter. Tak hanya itu, ia juga mendapat beasiswa hingga program S-3 di Inggris. "Saya mengambil jurusan ilmu kelautan untuk mendukung karier saya," ujar Cahyo.Cahyo memang sengaja kuliah ilmu kelautan karena terinspirasi dari para pembuat film dokumenter profesional yang ia temui. Ia mendapatkan pelajaran, sineas yang baik harus mempunyai ilmu pendukung agar menghasilkan karya yang maksimal. Dengan belajar ilmu kelautan ia bisa bercerita banyak tentang objek laut yang ingin difilmkannya. Setelah usai kuliah dan pulang ke Tanah Air, Cahyo kemudian mendirikan production house (PH) bernama Indonesia Explorer. Lewat PH itu, ia mengumpulkan berbagai stock shot yang kemudian dijualnya kepada sebuah perusahaan penyuplai gambar film di Bristol, Inggris. Pembeli film tersebut berani membayar hingga US$ 500 per menit. "Harga tersebut bisa naik 10 hingga 20 kali lipat jika gambarnya disukai konsumen," terang Cahyo.Cahyo menjelaskan, ia mempunyai stock shot-nya merata pada berbagai objek, mulai dari karang laut di Indonesia hingga berbagai jenis hiu. Tidak jarang banyak pengalaman menegangkan yang ia alami selama pengambilan gambar tersebut. Salah satunya ialah saat peralatan kameranya harus lenyap oleh serangan ikan hiu di perairan Nabire. "Peralatan yang lenyap tersebut seharga Rp 150 juta," kenang Cahyo.Kini ia lebih sibuk menggarap program Teroka di Kompas TV, sehingga pendapatannya dari menjual gambar film pun mulai tersendat. Selain itu ia pun mengaku harus memperbaharui peralatan kameranya mengikuti teknologi digital yang sedang laris. "Kalau sedang aktif memproduksi film, pendapatan saya bisa di atas Rp 100 juta per bulan," ujar Cahyo. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Cahyo Alkantana sukses gabungkan kesenangan dan pendapatan
Pengalaman membantu penelitian di Wakatobi membuat Cahyo Alkantana yakin film dokumenter laut bisa menjadi sandaran hidup. Apalagi, ia juga paham bahwa film-film dokumenter juga punya pasar di luar negeri yang sangat besar. Terbukti, karya-karyanya kini juga laris di negeri orang. Kini Cahyo dipercaya menggarap program Teroka di Kompas TV. Kegiatan bertualang di alam bebas tak hanya hobi yang menguras isi kantong. Hobi bertualang juga bisa menjadi sandaran hidup. Tak percaya? Lihatlah pengalaman Cahyo Alkantana. Dia terbilang sosok yang sukses menggabung kesenangan dan pendapatan. Melalui hobi menyelam dan membuat film dokumenter tentang kehidupan alam, Cahyo sukses mendulang rupiah. Memang Cahyo layak mendapatkan apresiasi. Dia membuktikan, berhasil menggabungkan pengalaman sebagai pengelana alam dengan ilmu di tingkat doktoral di bidang kelautan. Cahyo Alkantana bercerita, dia memang hobi bertualang sejak kecil. Apalagi saat masih aktif sebagai atlet silat di Yogyakarta. Kegemarannya tersebut terus berlanjut hingga di bangku kuliah pada tahun 1984. Ketika duduk sebagai mahasiswa jurusan arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Atmajaya, Yogyakarta, ia aktif di kegiatan pecinta alam di kampusnya. "Saya jadi Ketua Mapala Atmajaya selama lima tahun," ujar Cahyo.Perjalanan hobinya semakin cerah, ketika pada 1989 ia mendapat kesempatan menjadi pendamping tim peneliti Operation Wallacea di Kepulauan Wakatobi, baik di darat ataupun di laut. Dalam penelitian itu, pria berdarah biru itu menemukan Pulau Hoga yang kemudian dijadikan base camp bagi para peneliti hingga kini. "Saat kami ke sana, belum ada yang mengetahui keindahan kepulauan tersebut," terang Cahyo.Selama delapan tahun mendampingi tim peneliti, ia mendapatkan pengalaman yang menjadi pintu sukses baginya. Karena di situlah pria kelahiran 1965 ini berkesempatan bertemu para ahli dari bermacam ilmu, baik ahli pembuatan film dokumenter ataupun ilmuwan kelautan. Dari mereka inilah Cahyo mendalami ilmu dokumenter. Tak hanya itu, ia juga mendapat beasiswa hingga program S-3 di Inggris. "Saya mengambil jurusan ilmu kelautan untuk mendukung karier saya," ujar Cahyo.Cahyo memang sengaja kuliah ilmu kelautan karena terinspirasi dari para pembuat film dokumenter profesional yang ia temui. Ia mendapatkan pelajaran, sineas yang baik harus mempunyai ilmu pendukung agar menghasilkan karya yang maksimal. Dengan belajar ilmu kelautan ia bisa bercerita banyak tentang objek laut yang ingin difilmkannya. Setelah usai kuliah dan pulang ke Tanah Air, Cahyo kemudian mendirikan production house (PH) bernama Indonesia Explorer. Lewat PH itu, ia mengumpulkan berbagai stock shot yang kemudian dijualnya kepada sebuah perusahaan penyuplai gambar film di Bristol, Inggris. Pembeli film tersebut berani membayar hingga US$ 500 per menit. "Harga tersebut bisa naik 10 hingga 20 kali lipat jika gambarnya disukai konsumen," terang Cahyo.Cahyo menjelaskan, ia mempunyai stock shot-nya merata pada berbagai objek, mulai dari karang laut di Indonesia hingga berbagai jenis hiu. Tidak jarang banyak pengalaman menegangkan yang ia alami selama pengambilan gambar tersebut. Salah satunya ialah saat peralatan kameranya harus lenyap oleh serangan ikan hiu di perairan Nabire. "Peralatan yang lenyap tersebut seharga Rp 150 juta," kenang Cahyo.Kini ia lebih sibuk menggarap program Teroka di Kompas TV, sehingga pendapatannya dari menjual gambar film pun mulai tersendat. Selain itu ia pun mengaku harus memperbaharui peralatan kameranya mengikuti teknologi digital yang sedang laris. "Kalau sedang aktif memproduksi film, pendapatan saya bisa di atas Rp 100 juta per bulan," ujar Cahyo. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News