Calon ketua eksekutif perbankan OJK tebar janji



JAKARTA. Uji kepatuhan dan kelayakan calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi digelar Kamis (7/6). Nelson Tampubolon dan Riswinandi mulai menebar janji demi merebut posisi ketua eksekutif bidang perbankan.

Nelson fokus pada tiga hal. Pertama, pengawasan berbasis risiko dan terkonsolidasi untuk bank-bank berdampak sistemik. Perhatian khusus ini perlu, karena sebanyak 14 bank besar di Indonesia memiliki anak usaha sekuritas, asuransi dan perusahaan pembiayaan, serta memiliki produk lebih canggih dan beragam.

Kedua, meningkatkan daya saing perbankan. Program ini melanjutkan keinginan BI agar perbankan mengecilkan net interest margin dan rasio biaya operasional dibanding pendapatan operasional. Caranya, dengan membuat acuan biaya efisiensi dan pengontrolan biaya melalui rencana bisnis bank.


Ketiga, meningkatkan penetrasi kredit sektor usaha mikro, keci dan menengah (UMKM) dengan memperbesar penetrasi perbankan syariah dan bank perkreditan rakyat (BPR) lewat kemudahan izin serta melakukan distribusi pembukaan cabang yang merata. "Pembenahan ini dengan perbaikan sumber daya manusia, pengembangan produk dan peningkatan sosialisasi," ujar Nelson, yang mantan Direktur Internasional Bank Indonesia (BI).

Riswinandi fokus pada dua hal. Pertama, masa transisi dan iuran OJK. Wakil Direktur Utama Bank Mandiri ini berjanji akan mengawasi masa transisi OJK, agar tidak mengganggu jalannya industri. Maklum, masa transisi biasanya terjadi kekosongan pengawasan. Ia berjanji untuk memungut biaya OJK yang tidak memberatkan industri dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kedua, perbaikan stuktur perbankan berdasarkan permodalan. Perbaikan ini dilakukan melalui revisi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Menurut Riswinandi, idealnya hanya ada 2-3 bank internasional, lima bank nasional dan 20-30 bank fokus atau BPR.

Perbaikan struktur perbankan ini bertujuan meningkatkan penetrasi bank dan menengahi perebutan pasar antar bank. "Saat ini banyak bank tetapi kemampuannya tidak sama," ujar Riswinandi.

Sementara terkait pengaturan kepemilikan saham, harus ada pemegang saham mayoritas maksimal 51%. Jika tidak ada mayoritas, tidak ada yang bertanggung jawab ketika terjadi masalah pada bank. "Bila ada pemegang saham mayoritas bisa dikejar dana konsumen yang tersimpan di bank yang bermasalah," tegasnya. .

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: