JAKARTA. Emiten perkebunan memangkas belanja modal atau capital expenditure (capex) di tahun depan. PT BW Plantation Tbk (BWPT), misalnya, akan menganggarkan capex lebih rendah 30% dibanding tahun ini. Pada 2013, capex BWPT senilai Rp 1 triliun. "Tahun depan, capex BWPT Rp 700 miliar," kata Direktur Keuangan dan Sekretaris Korporasi BWPT, Kelik Irwantono. Ia merinci, pihaknya akan menggunakan Rp 400 miliar dari capex untuk perawatan tanaman yang masih muda (immature) dan menanam 4.000 hektare lahan baru. Kemudian, Rp 50 miliar untuk pembangunan dermaga dan jalan dari pabrik ke dermaga. Lalu, Rp 50 miliar untuk pembebasan lahan.
Selebihnya, BWPT menggunakan Rp 100 miliar untuk membangun aset tetap seperti perumahan karyawan di kebun. Sisanya, Rp 100 miliar untuk perawatan pabrik dan persiapan pabrik kelima BWPT. Kata Kelik, sumber pendanaan capex berasal dari internal dan eskternal. Khusus dana dari luar, BWPT belum memutuskan ingin meminjam bank atau mekanisme lain. Yang jelas, BWPT masih memiliki fasilitas pinjaman yang belum ditarik sebesar Rp 600 miliar. Di tahun depan, BWPT tak akan terlalu ekspansif seperti tahun ini. Sebab, saat ini kondisi makro ekonomi sedang tak memungkinkan. Harga crude palm oil (CPO) pun belum kembali menguat. Belanja modal PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) juga menurun di tahun depan. Rencananya, anak usaha PT Astra International Tbk (ASII) menganggarkan capex sebesar Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun di tahun depan. Angka itu pun lebih rendah ketimbang belanja modal tahun ini sebesar Rp 3,5 triliun. Sekretaris Perusahaan AALI, Tofan Mahdi mengatakan, capex AALI di tahun ini sebesar Rp 3,5 triliun, kemungkinan tak akan terserap semua. Ia menjelaskan, penggunaan belanja modal tahun ini, sekitar sepertiganya untuk pabrik, sepertiganya lagi untuk menanam sawit dan sisanya untuk infrastruktur. Belum bisa menerka pasar Berbeda dengan dua emiten tersebut, di tahun depan, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) justru menyiapkan belanja modal lebih tinggi dibandingkan tahun ini, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun. Pada 2013, capex SIMP tercatat Rp 2,4 triliun. Johnny Ponto, Direktur SIMP bilang, pihaknya ingin menggunakan capex tersebut untuk menggenjot bisnis CPO dan pengembangan hilir di produk minyak goreng dan nabati. Pada tahun depan, SIMP berencana membangun dua pabrik CPO baru. SIMP akan memakai dana kas internal dan mencari pinjaman dari pihak ketiga untuk mendanai capex tahun depan. Analis Batavia Prosperindo Sekuritas, Arandi Nugraha mengatakan, belanja modal emiten perkebunan umumnya menurun karena kondisi pasar CPO masih belum menentu. Dus, ia menduga, di tahun depan perusahaan perkebunan tak akan terlalu ekspansif. Ia juga melihat, pergerakan harga CPO masih tergantung permintaan dari China dan negara Eropa. Selain itu, produksi yang tidak berlebih (over suplay) juga mempengaruhi harga CPO.
Analis Sucorinvest Central Gani, Isfhan Helmy juga menilai, emiten perkebunan cenderung konservatif karena melihat kinerja tahun ini yang masih negatif. Selain itu, emiten perkebunan pun masih menebak arah permintaan CPO di kuartal I tahun depan. Beberapa waktu belakangan, harga CPO mulai menanjak karena dipicu permintaan yang meningkat. Akibatnya, harga CPO terus mengalami perbaikan. Isfhan melihat, capex emiten kebun bisa saja direvisi. Ia masih yakin, laba emiten kebun di tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Namun, keuntungan tersebut akan jauh dari masa keemasan emiten perkebunan di tahun 2010-2011. Emiten perkebunan yang memiliki usaha di bidang hilir memang lebih diuntungkan. Ini karena emiten tersebut tidak perlu pusing mencari pasar. Emiten kebun ini bisa mengolah sendiri dan bisa mendapatkan hasil lebih baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana