Capital inflow terkikis sejak Juli, mengapa?



KONTAN.CO.ID - Sejak bulan Juli 2017, arus modal asing yang masuk (capital inflow) ke pasar keuangan domestik mulai terkikis sehingga jumlahnya lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2016. Padahal, salah satu lembaga pemeringkat utang internasional Standard and Poor's (S&P) telah menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) pada Mei lalu.

Bank Indonesia (BI) mencatat capital inflow ke pasar keuangan dalam negeri hingga 1 September 2017 sebesar Rp 131 triliun. Jumlah itu lebih rendah dari periode yang sama pada tahun 2016 yang sebesar Rp 150 triliun. Padahal di akhir Semester pertama jumlahnya hampir menyamai capital inflow sepanjang 2016.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, kinerja ekonomi Indonesia di tahun lalu cukup baik, di tengah kondisi global yang diliputi ketidakpastian. Hal itu menyebabkan capital inflow ke Indonesia cukup besar.


"Tapi di November 2016 lalu ketika di Amerika Serikat ada pemilihan presiden dan ternyata itu tidak sejalan prediksi pasar, itu terjadi reversal," kata Agus di DPR, Rabu (6/9).

Meski tahun ini lebih rendah dari 2016, Agus melihat capital inflow tersebut masih tetap kuat. Hal itu juga membuat rupiah terapresiasi terhadap dolar 0,97% year to date hingga 4 September 2017.

Lantas, apa penyebab rendahnya capital inflow belakangan ini?

Ekonom Maybank Indonesia Juniman mengatakan, mengecilnya capital inflow tersebut lantaran adanya outflow di pasar saham. Bahkan, itu terjadi sejak Mei lalu. Saat itu terjadi arus dana keluar sebesar US$ 47 juta, dilanjutkan outflow pada Juni US$ 325 juta, Juli US$ 800 juta, dan Agustus US$ 300 juta.

"Walaupun di pasar obligasi sejak Mei hingga Agustus masih mencatat inflow sekitar Rp 31 triliun," kata Juniman kepada KONTAN, Rabu.

Hal itu lanjut dia, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, valuasi aset domestik yang mulai mahal yang membuat investor sedikit masuk ke pasar keuangan Indonesia. Kedua, tidak ada katalis yang membuat ekonomi domestik naik.

"Dengan ekonomi yang stagnan ini membuat penjualan korporasi tidak akan naik. Kalau tidak naik maka valuasi saham tidak naik," tambahnya.

Di sisi lain, peringkat investment grade yang disematkan S&P tidak berpengaruh. Juniman bilang, investor non tradisional masih masuk ke pasar obligasi karena dananya bersifat jangka panjang dan belum banyak masuk ke pasar saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia