KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor yang rasional merupakan salah satu kunci bursa saham menjadi lebih efisien. Untuk menjadi investor yang rasional, Penulis buku keuangan dan investasi serta penasihat investasi, Budi Frensidy, menyarankan investor belajar menganalisa secara fundamental. "Karena investasi itu prinsip dasarnya membandingkan nilai dan harga," jelas Budi dalam Indonesia Financial Expo & Forum (IFEF) 2021 yang digelar secara virtual, Rabu (6/10). Investor perlu untuk selalu mencari saham yang nilainya berada di atas harganya. Adapun prinsip tersebut tidak hanya berlaku dalam investasi saham, tetapi juga bentuk investasi lain.
Penting untuk bisa mengetahui nilai suatu saham agar tidak ikut-ikutan dalam berinvestasi. Apalagi saat ini, bertebaran pihak-pihak yang menyarankan untuk membeli suatu saham tertentu alias pompom. Begitu harga saham yang dimaksud sudah meningkat, pihak-pihak yang menyarankan tadi bersiap menjual saham yang dimilikinya.
Baca Juga: Prediksi IHSG hari Rabu (6/10) akan naik, analis rekomendasi sell tiga saham ini "Kalau tidak hati-hati dan akhirnya cuma ikut-ikutan. Siap-siaplah kebagian membeli saham di harga tinggi," imbuhnya. Kondisi seperti ini akan merugikan investor, mengingat fokus investor nantinya tidak lagi mencari keuntungan, tetapi cenderung menyelamatkan diri supaya tidak rugi. Di sisi lain, investor bisa belajar mengendalikan bias-bias emosional agar tidak berpengaruh terhadap keputusan investasinya. Budi bilang, untuk bias emosional ini dapat dilatih dengan mengendalikan diri dan lebih memahami kekurangan-kekurangan diri sendiri. Sehingga nantinya, kelemahan tersebut dapat diperbaiki secara perlahan. Asal tahu saja, mengalami bias tingkah laku atau
bias behavioral memang bisa terjadi di kalangan investor. Bias ini mengakibatkan investor yang tidak rasional atau irasional sehingga menjadikan bursa, baik di Indonesia maupun di negara lain, cenderung tidak efisien. Adapun
bias behavioral muncul karena tidak tersedianya
perfect information,
perfect rational dengan
perfect self-interest. Bias-bias tersebut kemudian dikelompokkan menjadi bias kognitif dan bias emosional. Bias kognitif bersumber dari penalaran yang salah. Bias ini dapat diatasi dengan lebih banyak belajar maupun membaca. Sementara bias emosional yang berasal dari intuisi dorongan hati daripada kalkulasi sadar, perlu lebih banyak upaya untuk mengatasinya.
Baca Juga: Indeks sektor keuangan naik 12% sejak awal tahun, catat rekomendasi saham bank ini Kemudian, bias kognitif tadi dikelompokkan lagi menjadi
belief perseverance dan
information processing. Yang termasuk dalam bias kognitif
belief peserverance ada
bias conservatism,
bias confirmation, bias representativeness, bias illusion of control, dan
bias hindsight. Sementara bias kognitif
information processing ada
bias anchoring (refrence),
bias mental accounting,
bias framing, dan
bias availability. Untuk bias emosional, di dalamnya ada
bias loss aversion, bias overconfidence, bias self control, bias statusquo, bias endownment, dan
bias regret aversion. Adapun implikasi investor mengalami
bias behavioral adalah mengalami
excessive trading, portofolio terkonsentrasi pada satu atau beberapa saham, alokasi aset yang tidak sesuai dengan tujuan investasi, serta meminjam bunga yang lebih tinggi dari bunga tabungan yang dimiliki.
Baca Juga: Kenaikan harga komoditas menyokong kenaikan IHSG 2,06% pada Rabu (6/10) Selain itu,
return di bawah pasar atau acuan, tidak ada alokasi aset untuk saham atau properti, memandang dan memperlakukan dividen dan
capital gain berbeda,
herding, dan efek disposisi. Terkait efek disposisi, hal ini paling banyak dilakukan oleh investor saham di bursa mana pun. Sepengamatan Budi, investor cenderung
sell the winners too soon and hold the losers too long. Mengatasi hal ini, investor memang perlu menentukan batas toleransi kerugian. Di sisi lain, mematok batas atas untuk merealisasikan keuntungan adalah tiga kali lipatnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli