JAKARTA. Hampir 14 tahun sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, secara kuantitatif jumlah radio siaran di tanah air mengalami lonjakan yang fantastik. Pada 1998, jumlah stasiun radio kurang dari seribu. Saat ini, jumlahnya sekitar 3.000 lembaga penyiaran radio apabila merujuk pada data Kementerian Komunikasi dan Informatika. Memang, dari sisi kuantitatif, terjadi peningkatan jumlah stasiun radio karena tidak terlepas dari semangat reformasi yang berimbas pada mudahnya memperoleh izin siar. Tapi seiring pesatnya pertumbuhan internet, pengelola stasiun radio dihadapkan pada tantangan besar, yakni bergesernya pola konsumsi media. Popularitas radio semakin memudar setelah digilas televisi, dan sekarang pendengarnya disedot beragam media di internet. Orang kini dengan mudah mendapatkan berita dan hiburan atau lagu di jejaring dunia maya. Beragam informasi berserakan di Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya. Segala jenis lagu, lawas dan terbaru, komplit di Youtube. Tak pelak, konsumen media kini ramai-ramai beralih ke media online, terutama media sosial dan aplikasi mobile. Bisa dibilang, khalayak saat ini hanya mendengarkan radio ketika berkendara mobil untuk mendengarkan lagu pengusir kantuk atau mendengarkan informasi lalu lintas guna menghindari kemacetan. Laporan penelitian NPD Group di Amerika Serikat yang dirilis April 2012 menunjukkan, anak muda saat ini lebih mendengarkan musik lewat layanan streaming ketimbang radio FM/AM. Bahkan fenomena kemunculan Spotify, pemutar lagu streaming, dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan bakal menggerus eksistensi radio siaran, juga pemutar lagu iPod sampai iTunes. Spotify yang resmi hadir di Indonesia sejak 30 Maret 2016 memiliki kelebihan dari radio, seperti koleksi lagu super lengkap, sangat personal, dan mudah dioperasikan.
Cara radio siaran bertahan
JAKARTA. Hampir 14 tahun sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, secara kuantitatif jumlah radio siaran di tanah air mengalami lonjakan yang fantastik. Pada 1998, jumlah stasiun radio kurang dari seribu. Saat ini, jumlahnya sekitar 3.000 lembaga penyiaran radio apabila merujuk pada data Kementerian Komunikasi dan Informatika. Memang, dari sisi kuantitatif, terjadi peningkatan jumlah stasiun radio karena tidak terlepas dari semangat reformasi yang berimbas pada mudahnya memperoleh izin siar. Tapi seiring pesatnya pertumbuhan internet, pengelola stasiun radio dihadapkan pada tantangan besar, yakni bergesernya pola konsumsi media. Popularitas radio semakin memudar setelah digilas televisi, dan sekarang pendengarnya disedot beragam media di internet. Orang kini dengan mudah mendapatkan berita dan hiburan atau lagu di jejaring dunia maya. Beragam informasi berserakan di Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya. Segala jenis lagu, lawas dan terbaru, komplit di Youtube. Tak pelak, konsumen media kini ramai-ramai beralih ke media online, terutama media sosial dan aplikasi mobile. Bisa dibilang, khalayak saat ini hanya mendengarkan radio ketika berkendara mobil untuk mendengarkan lagu pengusir kantuk atau mendengarkan informasi lalu lintas guna menghindari kemacetan. Laporan penelitian NPD Group di Amerika Serikat yang dirilis April 2012 menunjukkan, anak muda saat ini lebih mendengarkan musik lewat layanan streaming ketimbang radio FM/AM. Bahkan fenomena kemunculan Spotify, pemutar lagu streaming, dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan bakal menggerus eksistensi radio siaran, juga pemutar lagu iPod sampai iTunes. Spotify yang resmi hadir di Indonesia sejak 30 Maret 2016 memiliki kelebihan dari radio, seperti koleksi lagu super lengkap, sangat personal, dan mudah dioperasikan.