Carbon Credit Jadi Pos Pendapatan Baru Bagi Pertamina Geothermal Energy (PGEO)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) mengumumkan pos pendapatan baru dari hasil perdagangan karbon. 

Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy Nelwin Aldriansyah menyatakan, pendapatan dari perdagangan karbon ini seiring dengan komitmen PGEO untuk turut serta melakukan transisi energi.

“Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy  mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan bahwa operasional PGEO telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGEO berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE,” ujar Nelwin kepada media, Jumat (17/3).


Baca Juga: Pertamina Geothermal (PGEO) Akan Mengerek Kapasitas Produksi

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I Pahala Mansury juga mendorong BUMN untuk mulai melakukan perdagangan karbon, kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.  Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

Untuk diketahui, Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan komitmen setiap negara terhadap Persetujuan Paris untuk menurunkan emisi karbon di negara masing- masing.

Pada dokumen NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060.

Pahala menambahkan, ada banyak standar pemeringkatan dalam penilaian karbon. Namun, yang paling banyak dilakukan adalah standar nilai karbon yang diterapkan oleh Verra. Nilai carbon offset yang diperdagangkan nilainya sekitar US$ 20-US$ 40. BUMN bisa melakukan uji coba dengan harga setengahnya sebagai acuan.

Terkait nilai ekonomi karbon, Pahala menjelaskan, kemungkinan besar nilai ekonomi karbon antara US$ 2 sampai US$ 3. Pahala mengungkapkan, BUMN diminta untuk serius mulai melakukan transisi energi dengan berbagai cara seperti sinergi dan kolaborasi.

Baca Juga: Angkat Kapasitas Produksi, PGEO Perluas Akses Panas Bumi

“Kami melihat kolaborasi antara BUMN sendiri untuk membangun kerja sama dalam menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN kita juga bisa kerja sama dengan negara lain. Pada intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” jelas Pahala.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus US$300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon, di mana mulai 2023, perdagangan karbon dilakukan di subsector pembangkit tenaga listrik secara mandatory.

Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi