KONTAN.CO.ID - Pandemi Covid 19 belum ada tanda-tanda berakhir. Hal ini, tentu mengganggu roda ekonomi nasional. Dari sisi penerimaan pajak, saat ini belum bersinar. Saat kesulitan seperti, pemerintah bisa menempuh berbagai terobosan untuk menggenjot penerimaan negara. Ke depan, Pemerintah berencana memperluas instrumen peneriman pajak berupa pajak karbon (
carbon tax). Pajak karbon atau pungutan karbon ini diharapkan dapat memaksimalkan penerimaan negara, mendukung program Indonesia hijau dan pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi perubahan iklim atau
climate change.
Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, seperti produk-produk olahan yang menggunakan bahan bakar fosil minyak bumi, gas dan batu bara. Pajak karbon sebagai upaya represif pemerintah untuk mengurangi emisi karbon saat ini. Sebagai salah satu anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi sebesar 29% hingga 2030. Indonesia juga berkomitmen meningkatkan ketahanan akibat dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia akan fokus penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada lima sektor, yakni pengelolaan limbah, energi, transportasi, hutan dan lahan termasuk lahan gambut, industri serta pertanian. Pungutan karbon dinilai mempunyai potensi mendukung terjadinya penurunan tingkat emisi karbon, sekaligus mendukung pengembangan serta inovasi energi baru terbarukan (
new renewable energy). Walaupun, penerapan pungutan karbon di Indonesia masih dalam penggodokan yang tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Bila kita lihat, konsep yang dikedepankan dari penerimaan pajak karbon pada dasarnya dapat dialokasikan guna pemberian insentif atau subsidi ke sektor lain yang sangat urgen seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, maupun industri hijau (
green industry). Oleh karena itu implementasi pajak karbon, diharapkan mampu menjadi solusi masalah-masalah lingkungan, sekaligus menjadi salah satu basis penerimaan negara. Manfaat pajak karbon selain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, juga bisa meningkatkan perekonomian negara dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Memang, untuk mendukung implementasi
carbon tax, perlu beberapa pertimbangan.
Pertama, pemerintah perlu mendesain dan memetakan secara tepat guna menyasar pada sektor, aktivitas, dan atau barang yang jelas-jelas menimbulkan polusi (
polluter pays principle). Karena sektor inilah yang akan bertanggungjawab terhadap pencemaran lingkungan sehingga dibebani pungutan karbon. Pajak karbon juga berorientasi pada mitigasi perubahan iklim dan menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Sifatnya yang mengurangi eksternalitas negatif maka akan selaras dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Secara konseptual sektor yang dibebani pajak karbon mulai pembangkit listrik, transportasi, industri bangunan, industri
pulp and paper, semen, petrokimia dan lain-lain. Biasanya industri ini banyak menggunakan energi coklat (
brown energy) berupa bahan bakar minyak bumi, gas maupun pembakaran batubara yang banyak menimbulkan polusi. Namun, dengan penerapan
carbon tax, diharapkan industri mengubah pemakaian peralatan dan permesinan yang ramah lingkungan atau sebagai
green industry. Pertimbangan
kedua adalah skema pungutan seperti apa yang akan dikenakan terhadap sektor-sektor ini. Apakah jenis pajak baru ataukah akan mengacu pada pungutan pajak yang sudah ada seperti cukai, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atau pungutan lainnya. Demikian juga dasar pengenaan pajak atau tarifnya. Misalnya, apakah berbasis estimasi emisi karbon yang ditimbulkan, konsumsi bahan bakar, atau lainnya. Misalnya pajak karbon di Finlandia yang diterapkan saat ini sebesar US$ 24,39 per ton emisi CO2 atau Jepang sebesar 289 (Rp 38.000) per ton emisi CO2.
Keadilan dan reformasi Pertimbangan
ketiga, pungutan karbon ini diterapkan dengan mendasarkan pada prinsip keadilan. Pajak karbon terbukti telah menurunkan polusi dan emisi pada beberapa negara yang menerapkannya, dan menambah penerimaan negara. Penerimaan pajak karbon bisa dipakai untuk membiayai tenaga kerja terdampak polusi tersebut dan lain-lain. Saat ini, ada sekitar 25 negara telah menerapkan pungutan karbon seperti China, Singapura, Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chile, dan lain-lain. Penerapan pajak karbon ini telah berhasil mengurangi emisi karbon. Finlandia menerapkan pajak karbon sejak 1990. Swedia dan Norwegia sejak 1991 dan berhasil menurunkan tingkat emisi karbon sebesar 25%. Demikian juga Australia dan Jepang menerapkan sejak 2012. Diikuti China 2017 dan Singapura pada 2019, sedangkan Indonesia, menargetkan 2022. Pertimbangan
keempat, bagaimana regulasi implementasi
carbon tax. Hal ini penting karena menyangkut persiapan, verifikasi dan pengukuran target pada objek yang akan disasar. Implementasi
carbon tax dapat dilakukan sekaligus melanjutkan agenda reformasi perpajakan. Reformasi bisa berupa simplifikasi administrasi pajak karbon itu sendiri. Bisa juga mekanisme pungutan pajak karbon dibuat seperti pungutan pajak yang ada. Harapan lain penerapan pajak karbon di Indonesia tidak mengurangi daya saing sejumlah barang atau produk. Karena itu pengenaan
carbon tax ini perlu kajian mendalam bagaimana pengaruhnya terhadap elastisitas atau sensitivitas harga barang yang sangat dibutuhkan masyarakat sebagai akibat pengenaan
carbon tax. Di sisi lain, implementasi pajak karbon di Indonesia diharapkan dilakukan dengan
smooth, pemangku kepentingan kompak, semua sektor mendukung dan tidak terjadi ego sentris. Oleh karena itu dibutuhkan
leadership kuat yang menjadi dirigen dan komunikator andal untuk keharmonisan penerapan
carbon tax. Ke depan diharapkan tidak ada yang merasa dirugikan dan semua diuntungkan, sehingga tercipta keseimbangan berupa perubahan perilaku masyarakat (
society behavior) yang peduli terhadap lingkungan terutama gas buang (emisi), serta tercipta
green industry. Tantangan ke depan juga akan tercipta pasar karbon (
carbon trade). Negara seperti Norwegia telah bersedia memberikan skema pembiayaan bila suatu negara berhasil menurunkan emisi GRKnya. Yang tidak boleh lupa adalah implementasi
carbon tax ini memerlukan komunikasi pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah perlu membuka ruang dan pendapat masyarakat akan kebijakan ini agar mengedukasi dan merubah
mind set serta perilaku masyarakat dan entitas untuk mencapai target tertentu. Demikian juga implementasi dapat dilakukan secara bertahap seperti yang dilakukan oleh China, misalnya mulai dari pemerintah daerah. Meskipun tidak sempurna pajak karbon ini harus bisa dimulai segera.
Penulis : Ragimun Peneliti Senior Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan *tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti